Jelang tutup tahun 2017 dan tiga tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK), bagaimana perkembangan dan keberhasilan sector kemaritiman Indonesia. Apa saja yang sudah dilakukan Kabinet Kerja pemerintahan ini yang sebentar lagi memasuki tahun Politik di 2018.
Kelebihan maupun kekurangan tentu saja selalu menjadi pro kontra. Namun, pastinya pada era selama tiga tahun Jokowi memerintah, program tol laut sebagai salah satu programnya sudah berjalan, lalu pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan tol, bandara dan sebagainya pun telah dilaksanakan.
Khusus tol laut, sekitar 15 trayek tujuan ke berbagai daerah di negeri ini telah dan bakal terealisasi. Bahkan dengan program tol laut, pemerintah mengklaim harga barang di daerah sudah tak jauh beda dengan harga di pulau Jawa.
Selama kurun waktu tiga tahun pemerintahan Jokowi ini pula, industry galangan kapal nasional bertumbuh, karena banyak memperoleh order pembangunan kapal pesanan pemerintah. Begitu pula dengan bisnis pelayaran swasta yang kini pun dilibatkan dalam program tol laut. Apalagi, pada bulan terakhir jelang tutup tahun 2017, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan peraturan yang cukup berpihak pada usaha pelayaran nasional, yakni Permendag no. 82/2017 yang salah satu isinya mewajibkan komoditi tertentu (batubara, CPO, beras) diangkut dengan kapal nasional, dan wajib menggunakan asuransi nasional.
Angin segar bagi dunia shipping nasional ini tentu saja diharapkan akan membuat kebangkitan pelayaran nasional kembali Berjaya. Disi lain, ada pula sejumlah hal yang perlu diselesaikan dan menjadi tantangan maupun masalah dalam sisa pemerintahan Jokowi untuk dua tahun kedepan.
BPS mencatat, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari–November 2017 mencapai US$153,90 miliar atau meningkat 17,16 persen dibanding periode yang sama tahun 2016, sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$139,68 miliar atau meningkat 16,89 persen.
Sementara negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–November 2017 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$31,78 miliar (26,46 persen), Jepang US$13,89 miliar (11,56 persen), dan Thailand US$8,44 miliar (7,03 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 20,37 persen, sementara dari Uni Eropa 9,32 persen.
Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari–November 2017 mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 15,19 persen, 16,37 persen, dan 11,53 persen.
Ada catatan penting yang perlu kita cermati yakni menurut Hasyim Djalal, pakar hukum laut internasional, yang menyatakan bahwa Indonesia belum bisa disebut sebagai negara maritim. Karena, meski memiliki wilayah laut yang luasnya melebihi daratan, namun kontribusinya terhadap ekonomi nasional belum maksimal. Ambil contoh, untuk angkutan komoditi ekspor impor masih dikuasasi kapal asing, bahkan lebih dari 90% asing masih mendominasi.
Tetapi, semua itu tak perlu membuat kita risau, karena konsep yang tak lagi memunggungi laut, baru dimulai tiga tahunan, sehingga wajar apa yang sudah dicapai belum menyenangkan sebagaimana harapan masyarakat pada umumnya. Yang penting, bahwa masyarakat mulai dibuat sadar jika ekonomi maritime sangatlah menjanjikan, sebab membangun kembali kejayaan sector ini perlu waktu panjang. Negara Singapura dan Malaysia saja membutuhkan puluhan tahun untuk membangun kejayaan sector kemaritimannya.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenkomar) pernah membuat catatan, bahwa potensi ekonomi sektor kemaritiman ini sungguh luar biasa, sekitar US$1,33 triliun per tahun. Potensi itu didapatkan dari sektor perikanan budi daya (16%), energi dan pertambangan (16%), transportasi laut (2%), wisata bahari (4%), bioteknologi (14%), industri jasa kelautan (15%), industri pengolahan ikan (7%), dan perikanan tangkap (1%). Sayangnya potensi-potensi itu, belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Jika kita melongok pada program tol laut. Sudah sekitar 13 trayek yang menghubungkan berbagai pulau dan daerah, bahkan akan ditambah dua trayek lagi di 2018. Program ini pun memberi dampak ekonomi bagi industry galangan kapal, serta memberi nilai positif bagi masyarakat di pinggiran negeri ini.
Tol laut juga diklaim pemerintah telah dapat menurunkan harga sejumlah barang hingga 10%. Sebab, tol laut menjadi konektivitas antarwilayah untuk NKRI yang efektif karena adanya kapal yang secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia memasuki ke bergai wilayah di seluruh Indonesia untuk distribusi barang.
Data Kemenko Maritim tahun 2016 mencatat, di Pulau Sabu NTT, misalnya, harga beras turun 10%. Di Namlea harga beras turun 22%, harga gula turun 28%, harga daging ayam ras turun 49%, dan harga bawang merah turun 20%.
Seiring dengan itu, pembangunan pelabuhan juga digalakkan. Sudah banyak pelabuhan laut disiapkan, dalam kurun waktu 2015-2016 dibangun pelabuhan di 57 lokasi dari 306 lokasi yang direncanakan hingga 2019.
Dari sisi kapal sebagai penopang angkutan barang ke berbagai pelosok di tanah air, juga sudah dibangun seratus unit lebih untuk dioperasikan dalam suksesnya program tol laut.
Sejumlah BUMN pun terlibat dalam kemudahan distribusi barang. Untuk mempermudah ketersediaan barang, pemerintah juga telah mencanangkan program ‘Rumah Kita’, terkait dengan tol laut tersebut.
Lalu bagaimana strategi Indonesia untuk mewujudkan negeri ini dapat mengulang kejayaan mariitm. Kapal-kapal bendera Merah Putih bisa mengibarkan bendera di luar negeri, dan Indonesia kemudian dapat menjadi poros maritime dunia sebagaimana cita-cita pemerintah Jokowi-JK.
Sebenarnya, ide Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia harus ditangkap sebagai peluang bagi pengembangan angkutan maritim atau pelayaran Indonesia. Apalagi dengan adanya azas cabotage, dan kini keluar Permendag no. 82 tahun 2017, ditambah lagi potensi sumber daya kelautan Indonesia yang sedemikian melimpah.
Tapi, lagi-lagi kenapa potensi itu belum mampu dioptimalkan maupun dimaksimalkan oleh pemangku dan anak bangsa ini.
Sebagai comparative yakni Negara Singapura, konon negeri ini hanya mengandalkan sector jasa, toh berhasil menjadi salah satu yang diperhitungkan di dunia. Padahal negeri tetangga kita ini tak banyak memiliki potensi sumber daya alam sebagaimana Indonesia. Jadi dimana dan apa yang salah pada Indonesia.
Kita memang tidak dapat menutup mata akan kemajuan ekonomi dan perdagangan dunia yang sudah mengglobal. Liberalisasi ekonomi telah menciptakan ekonomi tanpa batas (borderless) dan mendesak negara-negara, termasuk Indonesia, untuk berkomitmen melakukan liberalisasi jasa angkutan maritim, dan itu merupakan salah satu isu yang ter “pending” lama dalam negosiasi-negosiasi di WTO sejak tahun 1990an.
Akhirnya, kalau melihat kondisi dan realitas seperti itu, apa yang mestinya dilakukan pemerintah kabinet kerja Jokowi yang hanya tinggal dua tahun lagi, dan apa pula yang mesti disikapi oleh dunia usaha menyongsong 2018, supaya kemaritiman Indonesia benar-benar menjadi kekuatan bangsa ini. (ow/***)