Dalam rangka mengantisipasi dan menghadapi perubahan tatanan kepelabuhanan, Koperasi Karya Sejahtera Pelabuhan Tanjung Priok terus melakukan penataan terhadap buruh (TKBM) dengan membekali sertifikasi keahlian, karena hal itu menjadi keharusan pada era globalisasi ini.
Apalagi, undang-undang dan berbagai peraturan pemerintah, sekarang ini memperbolehkan pengelolaan buruh bongkar muat di pelabuha, bukan hanya oleh Koperasi, melainkan bisa Yayasan maupun PT.
“Kalau kami tidak mulai berbenah, bisa-bisa ada yang lain masuk, dan kami ditinggal. Makanya kami terus berupaya melakukan perubahan-perubahan, salah satunya dengan membekali TKBM melalui pendidikan yang bersertifikasi dari lembaga yang kompeten,” kata Ketua Koperasi Karya Sejahtera TKBM Pelabuhan Tanjung Priok, Suparman didampingi Suparmin Sekretaris Koperasi saat ditanyai Ocean Week mengenai TKBM Priok, di Kantornya.
Menurut Suparman, pihaknya juga sedang melakukan perubahan sistem kerja TKBM di pelabuhan Priok, terutama di terminal petikemas (TPK Koja, JICT dan NPCT1), dari tadinya sistem lokasi, sekarang borongan. “Karena di terminal petikemas lebih banyak menggunakan mekanik, dan mengurangi jumlah buruh dari 12 menjadi hanya 7-8 orang, makanya kami mengambil solusi untuk borongan. Kami yang membayar kepada buruh, Terminal kontrak dengan kami (koperasi TKBM-red),” ungkapnya.
Namun, sistem baru yang coba dibangun koperasi, sempat mendapat protes dari para TKBM, terutama mengenai pola pengupahan. Buruh maunya tetap dibayar dengan jumlah 12 orang per regu, namun kenyataannya yang bekerja kurang dari jumlah itu, sehingga pengguna jasa (Terminal JICT, TPK Koja) protes.
Apalagi, tegas Parman, sekarang ini dengan adanya Saber Pungli, pihaknya sangat hati-hati dan tidak mau terkena masalah. “Tapi mereka (buruh) nggak mau tau, padahal kami (koperasi pengelola) diprotes oleh pihak pemberi kerja,” ucapnya dibenarkan Suparmin.
Kata Suparmin menambahkan, sekarang pola kerjanya secara borongan, tarifnya per box 20 feet maupun 40 feet untuk JICT Rp 22.500, di TPK Koja Rp 23.500, dan NPCT1 Rp 23.000. “Untuk JICT dengan 8 orang TKBM, NPCT1 hanya 6 orang. Nah di TPK Koja, buruh tetap ingin 12 orang, ini yang sedang kami bahas,” katanya.
Pihaknya, ingin supaya TKBM (mandor) mengerti terhadap kondisi dan situasi saat ini, namun mereka tetap ‘kekeh’ (ngotot) tidak mau berubah. Padahal, peraturan menyebutkan ‘no service no pay’.
“Kami sudah pernah mengumpulkan para mandor dan buruh di terminal penumpang, beberapa waktu lalu dengan mengundang pemerintah (OP) dan kepolisian untuk memberi pembekalan mengenai hal-hal dan perkembangan yang ada di pelabuhan, khususnya saber pungli, tetapi mereka nggak mau tau,” jelas Suparmin.
Yusron, salah satu mandor TKBM di wilayah kerja TPK Koja saat dikonfirmasi, menyatakan bahwa pihaknya ingin supaya mengenai sistem kerja ini dikembalikan sesuai dengan peraturan yang ada. “Kembalikan saja pada peraturan yang ada, memangnya buruh yang kerja di atas kapal nggak dihitung,” ujarnya. (***)