Akibat isu mogok kerja oleh SP JICT mulai tanggal 3-10 Agustus 2017, perseroan (PT JICT-red) telah loss pendapatan sekitar Rp 100 milyar. Sebab, sebanyak 20 kapal yang semestinya sandar dan membongkar muat di terminal ini, terpaksa dipindahkan ke terminal lain di pelabuhan Tanjung Priok.
Informasi yang diperoleh Ocean Week dari salah satu pelayaran, menyebutkan bahwa satu kapal dengan bongkar muat sebanyak 2400 box petikemas, stevedoringnya sekitar Rp 2,8 milyar, dan itu belum termasuk biaya penumpukan, serta LoLo.
“Jika biaya itu dikali 20 kapal, berapa besar loss pendapatan yang mestinya masuk ke PT JICT,” ujar sumber di pelayaran tersebut kepada Ocean Week, di Jakarta, Rabu (2/8).
Sementara itu, informasi dari salah satu pekerja di JICT, potensial loss akibat rencana mogok kerja seminggu itu mencapai ratusan milyar rupiah dari sisi darat dan sisi laut. “Belum opportunity loss dari sisi non finansial yang cukup besar termasuk ekses citra negatif ke pemerintah,” ungkap sumber tersebut.
Sumber tadi juga menyatakan, bahwa SP JICT tetap akan melakukan aksi mogok kerja, mulai Kamis (3/8) – 10/8. SP JICT menuntut perpanjangan kontrak JICT yang sudah dinyatakan BPK melanggar undang-undang, tapi secara paksa dijalankan diresi JICT.
“Uang sewa perpanjangan kontrak JICT senilai USD 85 juta per tahun dibayarkan tanpa alas hukum kepada Pelindo II sejak tahun 2015,” ujar sumber itu.
SP JICT juga menuding direksi Wanprestasi terhadap risalah rapat pemenuhan hak pekerja yang sudah sesuai dengan aturan perusahaan.
Karena itu, pelayaran menyayangkan terhadap permasalahan yang terjadi di terminal ini. Mereka berharap supaya mogok kerja segera diakhiri, dan problem internal antara SP JICT dengan manajemen dapat diselesaikan secara adil dan bijaksana. (***)