Pemerintah (Kemenhub) harusnya tak mengijinkan kepada perusahaan pemanduan Penundaan yang tak memiliki sarana prasarana memadai.
Misalnya perusahaan yang tidak mempunyai kelengkapan kapal tunda, mestinya tidak diberikan ijin melaksanakan kegiatan tersebut di suatu pelabuhan yang sudah wajib pandu tunda.
Selain itu, ada baiknya jika diwilayah pelabuhan wajib pandu, operator pandu tunda bukan hanya satu perusahaan, melainkan bisa lebih dari satu operator, sehingga tak terkesan monopoli, dan terjadi kompetisi sehat dalam pelayanan. Pelayaran sebagai pengguna jasanya juga mempunyai alternatif pilihan.
Mestinya pemerintah (Kemenhub) melakukan evaluasi yang benar. Karena tak ada kompetitornya, sehingga hasilnya pasti bagus, apalagi pemerintah dipastikan takut jika operator atau perusahaan tersebut di off, maka layanan pandu tunda di pelabuhan bakal kacau.
Coba kalau ada lebih dari satu operator, pemerintah pun akan tenang, dan tak perlu khawatir aktivitas di pelabuhan berhenti.
Andre dari pelayaran BEN Line menyatakan sangat setuju jika operator pandu tunda di pelabuhan tak hanya dilakukan oleh satu perusahaan, sehingga pelayaran sebagai penggunanya punya alternatif pilihan.
“Selama ini kami hanya bisa menerima saja, karena nggak ada pilihan. Meskipun tak jarang harus dirugikan karena adanya keterlambatan maupun hal lainnya, ya nggak bisa apa-apa. Tapi kalau ada pilihan, pasti mereka (operator pandu tunda) akan berlomba memberi layanan terbaiknya, dan kompetisi juga sehat,” katanya saat ditanya Ocean Week, Jumat pagi.
Menurut Andre, sebagai pelayaran maunya pelayanan bagus, safety dan reasonable cost. “Jadi kalau ada kompetitornya, biaya juga terkendali,” ujarnya.
Kata salah satu ketua di DPC INSA Jaya ini, jika memungkinkan bisa lebih dari satu operator pandu tunda untuk sebuah pelabuhan, kenapa pemerintah tak membuka kesempatan. “Siapa tau dengan adanya operator swasta yang bisa, kompetisinya jadi bagus. Layanan pun membaik, dan itu juga untuk membantu regulator,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, pelabuhan Priok, pelabuhan Marunda, mestinya bisa juga operator pandu tunda swasta bisa masuk, sebab selama ini terkesan monopoli. Di Marunda hanya KBS, dan Priok oleh Pelindo.
Sebelumnya Menhub Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa penyelenggaraan pemanduan di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor. 57 Tahun 2015 tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal.
“Sesuai Peraturan tersebut, pelayanan jasa pemanduan dan penundaan kapal diselenggarakan oleh Kantor Otoritas Pelabuhan (OP), Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), atau Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP),” kata Menhub Budi.
Jika kantor OP, KSOP atau UPP belum menyediakan jasa pemanduan dan penundaan kapal maka pelaksanaan pelayanan jasa pemanduan dan penundaan kapal dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang memenuhi persyaratan setelah memperoleh izin dari Menteri.
Menhub Budi Karya meminta kepada jajaran Badan Usaha Pelabuhan dan Terminal Khusus sebagai pelaksana dan pengelola pemanduan, agar dapat memberikan pelayanan pemanduan dan kepelabuhanan yang optimal dengan memperhatikan faktor keselamatan, serta memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
“Persyaratan tersebut antara lain menyediakan pandu, menyediakan sarana bantu, dan prasarana pemanduan kapal yang memenuhi persyaratan, serta memberikan pelayanan jasa pemanduan sesuai dengan sistem dan prosedur yang ditetapkan,” ungkapnya.
Kompetitor
Sementara itu, pengamat kemaritiman asal ITS Surabaya Saut Gurning menyatakan bahwa secara umum dasar aturan yang dipakai untuk kegiatan jasa pemanduan dan penundaan saat ini adalah PM 57/2015 tentang pemanduan dan penundaan kapal.
“Kalau menyangkut ada kesan monopoli saya kira tidak juga. Menurut pengamatan saya sudah terjadi adanya kompetisi di antara operator atau badan usaha penyedia jasa pemanduan dan penundaan. Kalau jumlah tidak banyak mungkin saja. Karena mungkin beban investasi serta tanggungjawab pemenuhan persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran yang cenderung mungkin tidak menggairahkan secara bisnis. Karena ada fungsi layanan publik di sana ketimbang manfaat komersial. Jadi sudah ada beberapa operator baik BUMN, BUMD maupun swasta yang melaksanakan jasa tersebut di sejumlah pelabuhan utama Indonesia,” kata Saut Gurning panjang lebar.
Dosen ITS Surabaya inipun mengungkapkan, untuk berbagai kluster terminal batubara, CPO, migas dan pasar lainnya cukup dinamis, di luar kendal akibat covid-19.
“Secara mendasar kalau kita melihat PM 15/2017, khususnya di pasal 29 dinyatakan bahwa Pelayanan jasa pemanduan dan penundaan kapal dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan. Maksudnya apakah OP, KSOP atau penyelenggara pelabuhan dapat melimpahkan (kontinu) atau bekerjasama (sementara) untuk layanan pemanduan dan penundaan?. Menurut saya tidak diatur terkait jumlahnya. Sebab selama layanan pemanduan dan penundaan memenuhi kinerja teknis, operasional, administrasi untuk keselamatan, keamanan dan proteksi lingkungan bisa saja. OP, KSOP, atau penyelenggara pelabuhan bisa menetapkan. Karena tidak ada pengaturan tentang itu. Namun mungkin bisa saja menunjuk lebih satu, bila kuantitas atau volume trafik kapal di sebuah wilayah DLKP/DLKR meningkat,” jelasnya.
Apabila OP, KSOP dan UPP tidak dapat melaksanakan fungsi-fungsi pemanduan dan penundaan (SDM, sarana dan prasarana pemanduan/penundaan, kinerja layanan), Saut Gurning menilai berdasarkan PM 15/2017 itu ada dua mekanisme yang dapat dilakukan OP, KSOP dan UPP.
Pertama melakukan pelimpahan kepada BUP (Pasal 30); Operator Tersus (Pasal 31); atau kerjasama dengan badan usaha penyelenggara usaha itu (Pasal 32) walau dalam skema sementara.
“Mekanisme pelimpahan juga diatur di PM itu. Ada di pasal 34-36. Bisa saja ada kebutuhan tambahan pelimpahan dan tidak berdasarkan hasil penelitian, evaluasi dan verifikasi dari Dirjenhubla,” ujar Saut Gurning.
Kalau misalnya ada gap prasarana dan sarana dari badan usaha eksis yang dilimpahkan dibanding tingginya kebutuhan layanan pemanduan dan penundaan, Saut Gurning menyatakan, logis dapat ditambahkan. Dan kalau kita lihat faktanya khan bisa ditambah. Bisa ke BUP BUMN, Bisa ke BUP Non-BUMN, bisa ke BUMD bisa ke operator Tersus selama badan usaha penyedia jasa itu memenuhi persyaratan administrasi, persyaratan teknis (pemenuhan kebutuhan SDM, sarana prasarana bantu pemanduan/penundaan) serta rekomendasi dari Dirjen di pasal 34. Yang selalu dievaluasi setiap 6 bulan hingga 2 tahun baik pelimpahan dan kerjasama pelayanan.
“Yang saya pahami urutannya seharusnya OP, KSOP, UPP memilih BUP/Operator tersus/Badan Usaha yang memenuhi persyaratan pelimpahan & Kerjasama. Kalau BUP memilih Badan usaha atau ke lainnya, dalam pemahaman saya akan tetap dievaluasi oleh OP/KSOP/UPP,” katanya lagi.
Terkait pertanyaan apakah swasta dimungkinkan untuk melakukan kegiatan itu, menurut Saut Gurning tentu saja bisa. Pangsa pasar Indonesia cukup besar khususnya di sekitar terminal yang melayani produk batubara, CPO dan migas.
“Terkait besaran investasi, level tarif dan biaya, jaminan trafik dan tingkat pengembalian investasi yang perlu menjadi pertimbangan penting bagi operator, penyelenggara (OP/KSOP/UPP), dirjenhubla dan pengguna jasa,” katanya.
Mengenai apakah BUP tidak menunjuk mitra usaha pandu tunda, kata Saut Gurning, juga tergantung pihak OP/KSOP/UPP yang memberikan pelimpahan atau kerjasama di wilayah DLKP/DLKR sekitar pelabuhan. Plus dirjehubla yang melakukan penelitian, evaluasi dan verifikasi terkait kebutuhan, pemenuhan persyaratan administrasi teknis seuai standar keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan.(***)