Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut akan melakukan evaluasi terhadap program tol laut yang sudah berlangsung selama 5 tahunan ini.
“Akhir tahun 2020, kami akan evaluasi tol laut. Bagaimana nanti hasilnya, masih ada waktu beberapa bulan lagi,” kata Capt. Antoni Arif Priadi, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut, Ditjen Hubla, Kemenhub kepada Ocean Week, di Jakarta, Jumat siang (18/9).
Pastinya, ujar Antoni, tol laut sudah berhasil menekan biaya logistik hingga 11,6 % di wilayah Indonesia barat, dan 3,5% untuk Indonesia timur.
Mantan Kepala Kenavigasian Tanjung Priok ini menyatakan, program tol laut tetap jalan, meski di masa Pandemi covid-19. “Saat ini sudah ada 26 trayek secara nasional, mencakup 70 kabupaten dan 20 propinsi di seluruh Indonesia,” ungkapnya usai membuka Rakernas ke-1 GINSI.
Dia menuturkan bahwa untuk mobilitas penumpang di daerah terluar, tertinggal, dan terpencil (3T) bukan hanya mengandalkan tol laut saja, namun Kemenhub juga menyediakan kapal perintis.
“Sudah ada 110 trayek kapal perintis dengan jumlah armada sebanyak 116 kapal, ada 6 trayek kapal ternak, dan 20 kapal rede, beroperasi di 466 pelabuhan singgah. Kapal perintis ini berhasil menghubungkan 171 kabupaten dan kota, di 28 provinsi,” katanya.
Antoni juga menyatakan, dari total 26 trayek, sudah ada wilayah yang bagus yakni Morotai, Sangihe dan Talaud. Paling tidak ketiga daerah itu sudah mampu mengkontribusi muatan balik menggunakan kapal tol laut.
Selama ini yang selalu menjadi keluhan adalah tidak adanya muatan balik.
Revisi Aturan
Beberapa waktu lalu, Bupati Kabupaten Morotai Benny Laos pernah meminta pemerintah merevisi dua aturan terkait program tol laut.
Revisi itu meliputi Permendag Nomor 53 Tahun 2020 tentang Penetapan Jenis Barang yang Diangkut dalam Program Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan serta penggunaan aplikasi Logistic Communication System (LCS) untuk memantau muatan dalam kapal tol laut.
Menurut Benny Laos, dalam Permendag Nomor 53/2020 terdapat pembatasan jenis barang yang diangkut, sehingga dinilai menjadi kendala peningkatan muatan kapal tol laut itu sendiri, serta membatasi barang-barang yang dibutuhkan di daerah.
“Ada beberapa kendala sehingga peningkatan tol laut dan tujuan Nawacita belum mencapai sasaran yang sempurna. Ada regulasi yang membatasi. Pertama, Permendag 38 yang berubah menjadi Permendag 53/2020 yang mengatur pembatasan jumlah jenis barang. Saya mengusulkan kalau bisa jangan mengatur pembatasan tapi mengatur yang dilarang saja,” ungkapnya.
Benny juga meminta kepada Kemenhub agar membuka akses LCS kepada pemodal-pemodal kecil dan pengangkutan barang bisa digabungkan.
“Selama ini pengguna tol laut hanya pemodal besar karena barang secara kolektif enggak bisa digabungkan. LCS itu agar bisa dibuka, sehingga pemodal kecil bisa menerima dampak tol laut. Sekarang hanya pemodal besar dan jenis barangnya terbatas, sehingga ada keterlambatan proses pembangunan di Morotai dan menghasilkan biaya yang tinggi,” jelasnya.
Dia mencontohkan, untuk membangun rumah dibutuhkan ratusan bahan bangunan, namun dalam Permendag 53/2020 hanya barang tertentu saja yang boleh. Makanya harus lewat Ternate baru ke Morotai.
Terlepas ada masalah, Bupati Morotai pun mengakui dampak program tol laut sudah dirasakan masyarakat di daerahnya. “Dulu sebelum ada tol laut, kami harus mengangkut barang dengan kontainer dari Ternate dengan biaya Rp40 juta.Tapi saat ini sudah ada kapal tol laut yang langsung dari Surabaya, biaya lebih murah,” katanya.
Meski begitu, untuk disparitas harga bahan pokok, Benny mengaku belum signifikan. Misalnya, harga besi beton dari Rp90.000 menjadi Rp75.000, gula secara partai Rp14.000 menjadi rp12.000, beras dari Rp12.000 menjadi Rp9.500 dan minyak goreng Rp12.500 menjadi Rp12.000.
Benny menuturkan bahwa daerahnya sudah berhasil mengisi muatan balik tol laut berupa hasil perikanan dan perkebunan.
Sementara itu, salah satu pengurus GINSI Papua Barat menyatakan dengan adanya kapal tol laut, harga barang terjadi penurunan. “Kapal tol laut hanya sebulan sekali kesini,” ujarnya.
Dia berharap kapal tol laut bisa ditambah frekwensinya yang masuk ke Papua Barat, paling tidak per 20 hari sekali. (***)