Pemerintah serius mencari sekitar 250.000 ABK Indonesia yang bekerja di perusahaan kapal asing yang konon memperoleh perlakuan tidak manusiawi.
“Ada laporan bahwa mereka diperlakukan secara tidak manusiawi, seperti tidak diperbolehkan keluar dari kapal saat labuh, jatah makanan dan minuman yang dibatasi, serta jam kerja yang berlebihan serta upah yang minim,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada acara peluncuran laporan Mengenai Perdagangan Orang, Pekerja Paksa dan Kejahatan Perikanan dalam Industri Perikanan Indonesia di Kantor KKP Jakarta .
“Apa yang terjadi di Benjina membuka mata kita. Kami berharap yang terjadi di Benjina dapat dilakukan di kasus lainnya. Kami masih mencari 250.000 ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing,” ucapnya.
![ilustrasi para ABK. (ist)](http://oceanweek.co.id/wp-content/uploads/2017/01/abk-300x204.jpg)
Karena itu, KKP telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2017 yang menyasar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di industri perikanan.
Susi mengungkapkan, di Indonesia sendiri telah dilakukan penegakan hukum atas temuan dan investigasi terkait kejadian pelanggaran HAM di bisnis perikanan, seperti kasus di Benjina Maluku pada tahun 2015 lalu.
“Makanya Indonesia sangat serius dalam mengatasi dan memberantas semua kejahatan yang terjadi di lautan,” ucapnya.
Laporan penelitian yang diluncurkan Menteri Kelautan dan Perikanan itu disusun berdasarkan pengalaman langsung dari para saksi mata yang menjadi korban perdagangan orang di kapal, dan merupakan hasil kerja sama IOM Indonesia dan Satgas 115-KKP, serta bantuan UI dan Coventry University.
Penelitian IOM itu meliputi penipuan yang sistematis dan terstruktur dalam praktek rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk berbagai pernyataan saksi mata mengenai kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal.
Kasus eksploitasi tenaga kerja seperti memaksa ABK untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari, berbagai tindakan melawan hukum antara lain mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, transshipment ilegal, pemalsuan dokumen dan logbook. (bs/***)