Ekspor langsung menggunakan kapal besar (direct call) dari pelabuhan di Indonesia ke luar negeri sudah mulai banyak dilakukan. Sebut saja direct call dari Jakarta-Los Angeles Amerika Serikat, atau dari Makassar ke Hongkong, dan sebagainya.
Kata Presiden Jokowi saat melakukan pelepasan ekspor langsung dari JICT ke Amerika menggunakan kapal CMA CGM Tage, Selasa (15/5) lalu, biaya logistik bisa turun, lebih efisien, karena waktunya juga lebih pendek, dibandingkan transhipment di Singapura.
Tapi, menurut Capt. Supriyanto, Sekretaris DPC INSA Jaya, dengan cargo dimuat direct dari Port of Loading sampai dengan Port of Discharge tanpa transhipment akan mengurangi biaya ocean freight (seharusnya), karena tidak ada tambahan handling diantara pelabuhan muat dan tujuan.
“Namun berapa besar penurunan biaya logistik tersebut, Karena dalam kajian biaya logistik yang 23.5% tersebut biaya sea freight kontribusinya dibawah 5%. Jadi memang ada penurunan seafreight,” kata Supriyanto saat dimintai tanggapanya, Kamis (17/5) sore.
Tetapi, ujarnya, perlu di check apakah benar ocean freight yang ditawarkan lebih murah dari yang ditwarkan oleh shipping line trayek yang sama dengan pola transhipment. “Kalau itu masih sama atau bedanya kecil kontribusinya untuk penurunan tidak signifikan menurunkan yang 5% tadi, bisa juga ocean freight lebih mahal. Karena adanya pelayanan waktu transit yang lebil cepat, dan siapa yang bayar. Kalo export FOB yang hemat adalah Consignee atau penerima barang karena ocean freight yang bayar penerima barang,” jelasnya panjang lebar.
Namun, ungkap Manager PT Samudera Indonesia ini, Kalau FOB atau sering disebut export dengan nominasi oleh buyer, sepengatahuan Supriyanto, persentasi nominasi ini lebih besar dari pada yang free shipment. “Kalau ini benar tidak banyak pengaruh terhadap pengirim,” ucapnya lagi.
Jadi idealnya kata SUpriyanto, shipment container dengan CNF sehingga shipper pengirim barang dapat memilih dan negosiasi harga freight-nya. “Kalau FOB biaya OF dibayar oleh buyer, shipper bayar local charge THC dan document charge saja, tapi kalau dirubah CNF pengirim dapat negosiasi OF dan dimungkinkan THC include di OF tersebut,” tegasnya.
Menjawab pertanyaan apakah Indonesia bisa tidak dengan pola ini, Priyanto menyatakan, untuk peti kèmas bisa karena tidak harus menggunakan kapal Indonesia, boleh saja kapal yang sama tetapi disini cara mendapatkan harganya. Contoh barang AA dibooking oleh Buyer FOB, dan satu lagi barang B term CNF booking kapal yang sama, tetapi untuk yang FOB pengirim barang tidak tahu berapa OF-nya, sementara yang CNF pengirim barang negosiasi langsung ke shipping line-nya.
Dia berharap, akan bagus sekali jika hal ini dapat dilaksanakan, mengingat pemerintah sekarang berkeinginan untuk dapat memperbanyak ekspor langsung dari pelabuhan di Indonesia. (***)