Kalangan pengusaha pelayaran curiga dan mengkhawatirkan adanya oknum dinegeri ini yang menginginkan azas cabotage dicabut atau dihilangkan dari Indonesia.
Mereka (para oknum) itu berharap dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Omnibus law (cipta kerja) dan Peraturan Presiden Daftar Prioritas Investasi, terjadi perubahan dan azas cabotage dihilangkan.
Saat hal ini Ocean Week tanyakan ke Dirjen Perhubungan Laut Agus Purnomo, justru balik menanyakan kalau isyu tersebut diperoleh dari mana.
“Dapat info dari mana?,” kata Agus Purnomo singkat, Rabu pagi (23/9).
Ocean Week yang mencoba menggali masalah ini kepada para pebisnis maupun tokoh pelayaran nasional seperti Sunarto (owner Gurita Lintas Samudera), Darmansyah Tanamas (Wakil Ketua Umum DPP INSA), capt. Zaenal Hasibuan (pengamat kemaritiman), mengakui jika mereka sangat khawatir kalau azas cabotage tidak lagi diterapkan di Indonesia.
Kata Sunarto, selama ada kebijakan cabotage, barang-barang kebutuhan dalam negeri, semua muatan antar pulau sudah menggunakan kapal bendera merah putih.
“Hanya sedikit saja yang masih menggunakan kapal asing yakni di sektor off Shire, karena memang kapal-kapal nya belum ada, harga kapalnya mahal. Lagi pula kontrak pekerjaannya hanya 3-6 bulan. Kalau yang sektor ini kami setuju saja diberikan dispensasi,” ujar Sunarto serius.
Menurut dia, orang-orang yang berkeinginan mencabut azas cabotage sebagai kebijakan yang terbukti menguntungkan pelayaran domestik, sangatlah ‘munafik’.
“Mereka oknum yang ingin cabotage dihilangkan itu munafik dan bisa dibilang sebagai penjahat perang yang harus disingkirkan dari bumi Pertiwi ini, karena hanya berpikir untuk kepentingan pribadi yang mau diperbudak asing,” ungkap Sunarto geram.
Penasihat INSA ini menegaskan jika banyak negaar menerapkan azas cabotage untuk melindungi negara dan bangsanya. “Ini kok aneh, ada perusahaan dan pengusaha lokal yang maju malah nggak senang, oknum yang begitu mestinya nggak perlu disini,” katanya.
Ditempat terpisah, Darmansyah Tanamas, wakil ketua umum DPP INSA juga sependapat dengan yang disampaikan Sunarto.
“Secara geografis 2/3 wilayah negara kita terdiri dari perairan, memiliki banyak pulau yang kaya dengan sumber daya alam yang tersebar di wilayah negara negara kepulauan, sudah seharusnya esensi yang paling utama dari asas cabotage adalah terkait dengan kedaulatan negara ( soverwign of the country ), dimana peran armada nasional sebagai komponen pertahanan dan keamanan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 3 Tahun 2002 serta pendukung pertahanan negara dalam keadaan bahaya ( UU No. 27 Tahun 1997 ),” ujarnya.

Menurut Darmansyah, kebijakan asas cabotage telah terbukti membawa dampak positif bagi pertumbuhan pelayaran nasional, dimana hingga saat ini seluruh kebutuhan muatan cargo dan penumpang dalam negeri telah dilayani oleh armada Merah Putih. Selain berhasil memberdayakan pelayaran nasional, dengan jumlah armada nasional yang ada saat ini telah berfungsi sebagai jembatan penghubung dan pemersatu NKRI.
Darmansyah juga mengemukakan, pertumbuhan pelayaran nasional mempunyai dampak turunan yang positif terhadap ekosistim industri maritim nasional, seperti galangan kapal dan komponennya, asuransi dan pembiayaan serta lembaga pendidikan SDM Pelaut.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dan meskipun belum sepenuhnya amanat UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran khususnya pasal 57 dilaksanakan, sudah seharusnya asas cabotage dipertahankan dan bahkan diperkuat yang antara lain dengan memberi dukungan kebijakan-kebijakan pemerintah yang konsisten dan berkelanjutan yang pro kepada pelayaran nasional sebagaimana yang diberikan oleh negara asing (yang bukan negara kepulauan) kepada perusahaan pelayarannya.
“Dengan dukungan kebijakan tersebut saya yakin pelayaran nasional semakin tumbuh dan berkembang dengan kuat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing nasional menuju perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri,” ujar Darmansyah.
Sementara itu, Capt. Zaenal Hasibuan, pengamat kemaritiman nasional menyatakan bahwa kapal asing masih mendominasi angkutan barang di Indonesia.
Hal itu terlihat dari 3 bulan pertama 2020 yang menyebutkan defisit neraca berjalan dari sektor transportasi sebesar US$ 1,9 miliar.
“Sepanjang tahun 2019, defisit neraca berjalan sektor jasa transportasi laut sebesar US$ 6,9 miliar. Angka itu didapat dari penggunaan kapal asing dan asuransi asing,” katanya.
Zaenal juga mengatakan bahwa persentase penguasaan kapal asing atas kebutuhan barang ekspor dan impor Indonesia sebesar 95% dari total semua kebutuhan.
Karena itu, pemerintah Indonesia (kemendag, Kemenkeu, Kemenhub) dan para asosiasi di sektor kemaritiman perlu kerja keras menjalankan target agar dapat menekan defisit neraca berjalan di tahun 2023 mendatang.

Zaenal pun menyinggung bagaimana pelayaran (kapal) asing lebih kuat dibandingkan kapal Indonesia, jika azas cabotage dihapus, karena bunga bank kapal asing lebih murah dibandingkan bank di Indonesia.
Kemudian biaya sertifikat kapal asing lebih resmi, beda dengan kapal Indonesia yang masih ada tambahan biaya tak resmi.
“Kapal asing tak pernah distop ditengah laut saat berlayar, baik di negaranya maupun di Indonesia, lain dengan kapal kita yang semua oknum petugas keamanan bisa naik kapal dan melakukan pemeriksaan yang akhirnya terjadi pungutan liar,” ungkapnya.
Cabotage Wajib Dipertahankan
Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto menilai asas cabotage sebagai keistimewaan yang dimiliki Indonesia dan perlu dijaga penerapannya. “Azas cabotage di industri pelayaran telah berdampak positif bagi Indonesia selama kebijakan ini diterapkan,” katanya.
Meme (panggilannya) menegaskan, kalau asas cabotage dibuka, Indonesia akan kehilangan potensi maritim dari sektor pelayaran.
“Bukan berarti kita anti asing, tapi harusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal Merah Putih,” kata Carmelita.
Meme menilai, investasi asing di sektor pelayaran tidak memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional.
“Saat ini kapal merah putih di dalam negeri sudah over supply. Kapal nasional berbendera merah putih terus mengalami pertumbuhan positif sejak diterapkannya asas cabotage yang tertuang dalam Inpres No. 5/2005 dan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran,” ungkapnya.
Untuk diketahui, dari catatan Kementerian Perhubungan tahun 2019, jumlah armada nasional mencapai 32.587 unit, dan itu mampu melayani seluruh angkutan logistik domestik.
“Azas cabotage disebut pula sebagai bentuk kedaulatan negara. Kapal merah putih sesuai Undang-undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara memiliki peran kewajiban bela negara khususnya pada saat negara dalam keadaan darurat dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara,” ucapnya lagi.
Carmelita menambahkan bahwa banyak negara yang menerapkan cabotage, misalnya Jepang, Amerika Serikat, Tiongkok, dan sebagainya.
Meme berharap pemerintah (Kemenhub) akan tetap mempertahankan penerapan azas cabotage di Indonesia, mengingat sudah dapat dirasakan hasilnya, bahwa Pelayaran nasional bisa menjadi tuan di negeri sendiri. (***)