Meski keberadaan Terminal Teluk Lamong (TTL) baru dua tahun berjalan beroperasi, namun pengguna jasa di terminal ini terus meningkat. Terbukti dengan produksi petikemas yang ditangani pada semester I 2017 saja mencapai 217.363 TEUs, meningkat dibandingkan dengan produksi setahun lalu periode sama yang tercatat 112.879 TEUs.
Karena itu, kedepan perseroan berupaya mengembangkan sejumlah fasilitas, antara lain pengembangan area lapangan penumpukan petikemas dari 5 blok menjadi 10 blok. “Juga optimalisasi ICT melalui E-Terminal,” kata Rumaji, Direktur Operasi PT TTL kepada Ocean Week, per telpon Sabtu (29/7) siang.
Selain itu, ungkapnya, TTL juga melakukan pengembangan fasilitas curah kering (conveyor, silo dan flat storage). “Sesuai dengan konsep ramah lingkungan, fasilitas curah kering TTL dilengkapi dengan dua jalur conveyor belt dengan kapasitas 2500 ton per jam per belt. Komoditasnya pun khusus hanya melayani food dan feed grain, agar tetap ramah lingkungan,” jelasnya.
Menurut Rumaji, fasilitas penyimpanan berupa silo dan flat storage tahap 1 juga telah siap digunakan. Secara kapasitas, TTL bisa menjadi terminal curah kering terbesar se Asia Tenggara, dengan potensi arus produksi sebesar 17 juta ton per tahun.
Menanggapi pujian Coast Guard AS terhadap pemberlakuan ISPS-Code di terminal ini yang terbaik di Indonesia, Rumaji menyatakan bahwa pihaknya diminta oleh Coast Guard AS untuk tetap mempertahankan apa yang telah dicapainya tersebut.
“Mereka (Coast Guard AS-red) minta agar ISPS-Code di Teluk Lamong tetap dipertahankan dengan senantiasa up date regulasi baru bidang maritime security,” ucapnya.
Sementara itu, Reka, Humas TTL menambahkan bahwa peningkatan arus petikemas karena adanya penambahan volume petikemas dari tiap-tiap pengguna jasa. “Rute yang sebelumnya bongkar muat di Tanjung Perak beralih ke TTL sejak pertengahan Januari 2017,” ucapnya.
Selain petikemas, terminal ramah lingkungan pertama di Indonesia ini, juga melayani jasa bongkar curah kering, khusus untuk komoditi pakan dan pangan. (***)