Mulai per 1 [satu] Februari 2017 lalu, Terminal Petikemas Semarang [TPKS] sudah menerapkan tariff progresif bagi pelaku usaha sesuai dengan Peraturan Direksi Pelindo III no. 23/PJ.05/P.III-2016. Pemberlakuan itu dimaksudkan untuk menekan dwelling time yang masih diatas 4 hari.
“Tarif progresif berlaku untuk petikemas dan dihitung mulai hari ketiga dengan tariff dikenakan 400%, dan mulai hari keempat sampai ketujuh dikenai 700%. Namun di TPKS tariff progresif itu untuk petikemas tanpa PLP, pastinya kami masih lebih murah dibandingkan dengan terminal lain,” kata Ery Akbar Panggabean, General Manager TPKS kepada Ocean Week per telpon Senin malam [13/2].

Dengan berlakunya tariff progresif ini, Ery berharap pemlik barang/importer supaya mengeluarkan barangnya/petikemasnya dari terminal secepatnya. Para importir bisa mempercepat proses pengurusan dokumen dan segera mengambil barangnya.
“Saya juga berharap dengan diberlakukan tariff progresif ini angka dwelling time di TPKS menjadi turun dan nantinya dapat sesuai dengan harapan pemerintah, dari lima hari bisa ke kisaran 2-3 hari,” ujarnya lagi.
Apalagi sekarang Bea Cukai juga sudah menambah jam kerja yakni Senin – Sabtu [sabtu setengah hari]. Diharapkan kinerja ini akan diikuti oleh pelayaran dan institusi lainnya. “Kalau TPKS sudah menerapkan kerja 24/7,” ucap Ery.
Menurut Ery Akbar, para pihak, baik pemerintah maupun asosiasi terkait [KSOP, ALFI, Ginsi, APBMI, Pelayaran, dan lainnya] sangat mensupport dengan kebijakan tariff progresif ini.
Ketua ALFI Jawa Tengah Ari Wibowo juga mengaku sangat mendukung kebijakan tariff progresif ini. Bahkan, sewaktu diinformasikan bahwa dwelling time di TPKS masih tinggi, Ari sedikit agak sewot. “Wah itu nggak bener semua, nanti akan saya infokan ke Presiden kalau perlu bahwa apa yang diinformasikan di luar semarang tidak benar,” ungkapnya sewaktu dikonfirmasi Ocean Week per telpon beberapa waktu lalu tanpa merinci dimana ketidak benarannya.
Seperti diketahui, bahwa tarif penumpukan kontainer di TPKS saat ini masih berlaku tarif lama yakni Rp 24.000 per kontainer dalam waktu lima hari. Akibatnya, pemilik barang/importer lebih memilih menumpuk kontainernya di terminal. Apalagi jika gudang pabriknya penuh.
Ery juga mengakui penerapan tariff progresif ini akan mengalami kendala, mengingat tidak adanya lokasi yang bisa digunakan untuk penumpukan sementara petikemas-petikemas di pelabuhan.
TPK Semarang sekarang terus menggenjot pembangunan dan memperbaiki berbagai fasilitas, termasuk system operasionalnya. Dari tahun ke tahun kinerja terminal kebanggaan warga Semarang ini terus membaik, jika di tahun 2014 saja sudah mencapai sekitar 600 ribu TEUs, di tahun-tahun mendatang terminal ini bermimpi dapat tembus ke angka 1 juta TEUs.
Untuk itu, penambahan peralatan pendukung bongkar muat pun disiapkan. Misalnya dengan sudah dioperasionalkannya 20 ARTG dan rencana penambahan lapangan penumpukan.
Namun demikian, semua harapan dan keinginan itu tak akan terwujud tanpa tanpa dukungan Bea Cukai, Karantina, KSOP dan asosiasi terkait di pelabuhan. [ow]