Saat ini paling sedikit ada 6 kapal kandas yang belum ditangani di pesisir pantai Banten, khususnya di kabupaten Pandeglang.
Tongkang Mannalines di Bayah, tongkang Nautica 25 di Pulau Tinjil, tongkang Titan 36, Kapal Motor Felya, Tongkang DBD 3028, Tug boat Daya 28 dan mungkin masih ada lagi kapal atau tongkang lainnya.
3 unit sudah separuh dipotong pemborong besi tua di lokasi kejadian. Sementara 3 lainnya belum ditangani walaupun sudah berbulan-bulan, kemungkinan inipun menunggu pembeli besi tua lainnya.
Capt. Zaenal A. Hasibuan, Pengamat Kemaritiman Nasional mengungkapkan keprihatinannya terhadap tidak adanya kepedulian dari pemangku kuasa terhadap masalah ini.
“Lambannya penanganan kecelakaan seperti ini tidak lepas dari tidak kompetennya aparat Syahbandar di KUPP kelas 3 Labuan. Karena sebagian aparat yang bertugas di sana tidak memenuhi standar kompetensi, sertifikasi serta kualifikasi seperti yang disyaratkan di dalam Undang-Undang nomor 5 tentang ASN. UU tersebut jelas menyatakan bahwa untuk merekrut, rotasi, mutasi dan promosi ASN harus mengacu kepada kompetensi kualifikasi serta sertifikasi pegawai negeri yang bersangkutan,” ujar Capt Zaenal kepada Ocean Week, Sabtu pagi, lewat WhatsApp nya.
Karena tidak kompetennya aparat-aparat tersebut, kata Zaenal, setiap kali terjadi kecelakaan mereka lebih memilih berdiam di dalam kantornya ketimbang mendatangi lokasi kejadian dan melakukan pemeriksaan pendahuluan seperti yang diatur di dalam undang-undang 17 tahun 2008 tentang pelayaran pada Bab XI bagian ketujuh yang menyebutkan bahwa penanganan kecelakaan kapal adalah di tangan Syahbandar, sebagai pelaksana pemeriksaan pendahuluan.

Parahnya lagi, tegas Zaenal, ketimbang menjadi bagian pemerintahan yang memimpin serta memerintahkan pemilik kapal untuk segera mengevakuasi kapalnya, mereka lebih memilih membantu mencarikan pembeli besi tua agar kapal tersebut dapat dipotong di lokasi kejadian.
Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan Menteri Perhubungan nomor 71 tahun 2013 seperti yang sudah diubah dengan peraturan Menteri Perhubungan nomor 27 tahun 2022 khususnya pasal 14 yang mengatakan bahwa penyingkiran harus diselesaikan dalam waktu maksimum 180 hari setelah kejadian, juga bertentangan dengan PP No. 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, Permenhub No. PM 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim serta Konvensi Hongkong tentang Penutuhan Bangkai Kapal (Ship Recycling).
Menurut fungsionaris DPP INSA ini, hal itu tentu diperparah dengan tidak pernahnya pejabat-pejabat tersebut dirotasi ke posisi dan tempat yang memang sesuai dengan keterbatasan kemampuannya.
“Di tempat lain setiap kali ada kejadian kecelakaan pelayaran niaga, Syahbandar selalu menjadi pejabat pertama yang mendatangi lokasi kejadian untuk melihat dan menentukan bantuan apa yang dibutuhkan, bukannya berdiam diri didalam kantor,” katanya lagi.
Karena itu, sudah sepantasnya Direktur Jenderal Perhubungan Laut mencopot atau minimal memindahkan pejabat-pejabat bawahannya tersebut ke tempat di mana mereka tidak perlu melihat kapal ataupun tidak perlu menyelesaikan permasalahan kecelakaan kapal.
Kata Zaenal, dampak dari keterbatasan pengetahuan mereka sangat fatal untuk Kabupaten Pandeglang yang memang alur lautnya ramai serta seringnya terjadi gelombang yang cukup besar.

Pantai-pantai di sana berubah menjadi kuburan kapal yang tidak ditangani sama sekali. Mari kita urutkan peraturan apa saja yang diabaikan selama ini untuk mengetahui selemah apa pengetahuan mereka;
1. Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, yang telah diubah menjadi undang-undang Nomor 66 tahun 2024, khususnya Bab XI bagian 7, serta pasal 241 (penutuhan bangkai kapal)
2. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim.
3. Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim
4. Menteri Perhubungan nomor 71 tahun 2013 seperti yang sudah diubah dengan peraturan Menteri Perhubungan nomor 27 tahun 2022
5. The Hong Kong International Convention for the Safe and Environmentally Sound Recycling of Ships (IMO Hong Kong Convention).
6. Undang nomor 5 tentang ASN.
Masyarakat memiliki peran besar dalam membantu menegakkan aturan yang ada karena hal ini diatur di dalam undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran pada pasal 274 Tentang Peran Serta Masyarakat khususnya poin
3 (d).
Menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang terhadap kegiatan
penyelenggaraan kegiatan pelayaran yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan 3 (e), Melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan
pelayaran yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
“Atas dasar banyaknya aturan yang dilanggar oleh pejabat KUPP kelas 3 Labuan atas nama Noprian Anthony, Ismail dan Budi, masyarakat bisa memberikan masukan dan tuntutan kepada pimpinannya untuk mencopot atau memindahkan mereka ke tempat yang tidak berhubungan dengan kapal sama sekali karena keterbatasan kemampuan mereka sehingga mengakibatkan Pantai Banten khususnya Pandeglang berubah menjadi kuburan bangkai kapal yang tidak ditangani,” tegas Capt. Zaenal. (***)