Sunda Kelapa direncanakan sebagai pelabuhan tourism/wisata. Namun, aktivitas bongkar muat kapal dan kargo umum maupun container tetap diperbolehkan disini, termasuk kegiatan kapal-kapal rakyat.
Bahkan, mereka itu dijadikan sebagai salah satu daya tarik bagi wisatawan domestic maupun manca Negara.
Direktur Pengembangan Usaha PT Pelindo II Saptono Rahayu Irianto mengungkapkan bahwa peruntukan pelabuhan Sunda Kelapa difokuskan pada wisata. “Tetapi, kegiatan bongkar muat menggunakan container, dan kapal pelayaran rakyat masih seperti biasanya sebagai daya tarik pelabuhan ini,” katanya kepada Ocean Week, di Jakarta.
Mantan Dirut PT MTI ini juga menyatakan, peruntukan Sunda Kelapa menjadi pelabuhan wisata masih dalam rencana perseroan. “Kami belum memprioritaskan revitalisasi untuk pelabuhan tua tersebut pada tahun 2017,” ujarnya.
Ketika hal itu dikonfirmasikan kepada Yuli Tarigan (General Manager Pelindo Sunda Kelapa) juga diperoleh jawaban, bahwa pembahasan program untuk 2017 tentang Sunda Kelapa masih belum. “Minggu depan baru mau dibicarakan,” ucapnya melalui pesan singkatnya.
Seperti diketahui bahwa sejarah mencatat, pelabuhan ini sudah jauh ada sebelum pelabuhan Tanjung Priok berdiri.
Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad sepuluh. Karena wilayah ini makin hari makin ramai perdagangan, maka berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara.
Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malaka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d’Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tomé Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa.
Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh sang raja Pakuan Pajajaran tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman Kesultanan Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.
Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak pada 1526, yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanya pun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan. Orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon.
Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619). (**)