Sidang International Maritime Organization (IMO) Sub Committee on Carriage of Cargoes and Container ke-4 di markas besar IMO, London yang digelar pada 11-15 September 2017 lalu dimanfaatkan Indonesia untuk promosi dan penggalangan dukungan dalam rangka pencalonan kembali Indonesia pada keanggotaan dewan IMO kategori C periode 2018-2019.
Pada kesempatan itu, Indonesia menjadi sponsor utama menjamu coffee break kepada seluruh delegasi, serta membagikan souvenir kepada mereka untuk mendapatkan dukungannya tersebut.
Tresna Pardosi, salah seorang delegasi dari Indonesia kepada Ocean Week menyatakan, sidang IMO kali ini dibuka oleh Sekjen IMO, Kitack Lim. “Kemudian sidang dipimpin oleh H. Xie dari China sebagai ketua sub committee CCC yang didampingi Patrick Van Lancker dari Belgia,” katanya, Rabu (20/9) malam.
Sedangkan delegasi Indonesia, antara lain dari Kemenko Maritim, Atase Perhubungan KBRI London, Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan, PT BKI, PT. Pelindo 2, dan Asosiasi Pengelola Terminal Petikemas Indonesia (APTPI).
Menurut Tresna, pada sidang kali ini, delegasi Indonesia mengikuti jalannya sidang yang khusus amandemen IGF Code, kelayakan baja high manganese austenitic steel, amandemen IMSBC Code, amandemen IMDG Code, penafsiran beberapa aturan IMO, dan laporan kejadian pada barang berbahaya dan bahan pencemar dalam bentuk kemasan di kapal maupun di area pelabuhan.
“Indonesia waktu itu juga menyampaikan betapa pentingnya pengembangan pengaturan bahan bakar dengan titik nyala rendah (low flash point), dan menyarankan dalam sidang itu agar dilakukan risk assesment yang lebih detail terkait persyaratan keamanan untuk penggunaan bahan bakar ini di kapal,” ungkapnya.
Terkait dengan usulan penggunaan baja tipe high manganese austenitic steel di kapal, Indonesia meyarankan agar ditentukan lebih dulu persyaratan dan metode pengujiannya sebelum nantinya diterapkan dalam bentuk peraturan untuk digunakan sebagai material konstruksi di kapal.
“Untuk penerapan amandemen IMSBC Code sesuai MSC.426 (98) Code, diharapkan dapat diberlakukan pada 1 januari 2019,” ungkap Tresna mewakili APTPI.
Kesempatan itu, juga digunakan untuk menyampaikan perkembangan sistem database petikemas dunia Global Approved Continuous Examination Programs (ACEP) yang dapat diakses di www.bic-acep.org. “Termasuk juga disampaikan penerapan verifikasi berat kotor petikemas (verified gross mass/VGM) yang sudah diberlakukan sejak 1 Juli 2016 untuk pelayaran internasional,” jelasnya.
Regulasi Lingkungan
Seperti diketahui bahwa IMO sudah memberlakukan regulasi lingkungan yang ketat mulai awal tahun 2015 lalu, dimana emisi SOx dan NOx dibatasi maksimal 0.1% untuk kawasan ECA (Emmision Control Area).
Aturan IMO tersebut akan diberlakukan secara global mulai tahun 2020, namun dengan batasan emisi (SOx dan NOx) yang lebih longgar, maksimal 0.5%.
Regulasi IMO tersebut mendorong tumbuhnya kebutuhan akan teknologi yang mampu mengurangi atau menghilangkan emisi mesin kapal. Pilihannya hanya dua, yaitu teknologi LNG propulsion, artinya menggunakan bahan bakar rendah karbon (Low Sulphur MGO atau LNG). Atau mengadopsi teknologi scrubber, dengan tetap menggunakan HFO sebagai bahan bakar.
Untuk kapal baru (new build) teknologi LNG Propulsion lebih menguntungkan. Karena diperkirakan total cost LNG propulsion lebih rendah hingga 40% dibanding menggunakan MGO (low sulphur) dan HFO dengan Scrubber.
LNG Propulsion adalah istilah untuk kapal yang menggunakan LNG (gas alam cair) sebagai bahan bakar mesin penggeraknya, atau kapal BBG (Bahan Bakar Gas). Saat ini populasi kapal BBG ini tidak lebih dari 100 unit.
Sejalan dengan itu, Maritime Safety Committee (MSC) pada sidang ke-95 dua tahun lalu (Juni 2015) mengadopsi IGF Code melalui amandemen chapter ll1, ll-2 dan lampiran pada Annex SOLAS 1974 oleh resolusi MSC.391(95) dan MSC.392(95).
Sementara itu, IGF Code (lntemational Code of Safety for Shrps Using Gases or olher Low-Flashpoint Fuels) atau Aturan Keselamatan lnternasional untuk Kapal yang menggunakan Bahan Bakar Gas dengan Titik nyala rendah). IGF Code sudah berlaku sejak 1 Januari 2017 lalu setelah berlakunya amendemen terhadap Chapter ll1 ,ll-2 dan lampiran pada Annex SOLAS 1974.
IGF Code mencakup semua hal yang harus diperhatikan secara khusus dalam penggunaan gas atau zat dengan flashpoint rendah sebagai bahan bakar. Di dalam aturan tersebut, terdapat kriteria tentang pengaturan dan instalasi mesin penggerak (utama) dan mesin bantu yang menggunakan bahan bakar gas. Tujuannya agar tingkat keamanan kapal BBG setara dengan kapal dengan bahan bakar konvensional.
Untuk diketahui, bahwa seluruh kapal BBG yang dibangun setelah 1 Januari 2017, wajib mengikuti aturan ini. Selain itu, IGF Code juga berlaku bagi kapal yang pada atau setelah 1 Juli 2017 masih dalam tahap pembangunan. Atau kapal yang selesai pembangunannya pada atau setelah 1 Juli 2019.
Sedangkan kapal yang dibangun sebelum 1 Januari 2009 yang kemudian dikonversi ke penggunaan bahan bakar gas pada atau setelah 1 Januari 2017, maka Kapal tersebut harus diperlakukan sebagai kapal yang menggunakan bahan bakar gas pada tanggal dimulainya konversi tersebut.
Namun, IGF Code ini tidak berlaku bagi kapal pengangkut gas (lng/cng carrier), karena sudah diatur oleh IGC Code. Termasuk jika kapal tersebut menggunakan muatannya sebagai bahan bakar, sepanjang sudah memenuhi IGC Code (untuk gas sebagai muatan), maka tidak termasuk yang diatur oleh IGF code.
IGF Code hanya berlaku untuk kapal niaga, sehingga kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh Pemerintah, termasuk kapal perang, dan digunakan untuk layanan non-komersial, tidak diwajibkan mengikuti aturan tersebut.
Di Indonesia, IGF Code sudah diadopsi oleh BKI (PT. Biro Klasifikasi Indonesia), sejak Oktober tahun 2015. BKI mengembangkan Guidlines for the Use of Gas as Fuel for Ships (pedoman untuk penggunaan gas sebagai bahan bakar kapal) dengan mengacu pada IGF Code dan peraturan yang terkait lainnya. (***)