Pemberlakuan kewajiban Verified Gross Mass (VGM) di pelabuhan Indonesia dinilai pelayaran sangat bagus dan penting karena hal itu menyangkut keselamatan barang, orang, dan kapal sendiri.
Pengamat pelayaran sekaligus adviser INSA Capt. Suyono mengungkapkan karena pemberlakuannya mulai 1 Juli 2016, pihak pelabuhan mesti menyiapkan sarana prasarananya. “Sebab kalau container yang akan di ekspor tidak di VGM tidak akan dapat dimuat ke kapal. Makanya pelabuhan perlu menyiapkan timbangannya,” kata Suyono kepada Ocean Week, Jumat (10/6), di Jakarta.
Dia sangat mengapresiasi kebijakan ini, karena di seluruh dunia juga diberlakukan kebijakan seperti ini. Cuma Suyono menyayangkan keterlambatan pemberlakuan SOLAS ini di Indonesia.
Seperti diberitakan Ocean Week sebelumnya bahwa Mayoritas pelabuhan di Indonesia yang berkegiatan ekspor impor akan memberlakukan ketentuan International Maritime Organization (IMO) yang telah mengamandemen Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention (Chapter VI, part A, regulation 2) tentang Verified Gross Mass (VGM). Kewajiban VGM atau verifikasi berat kotor kontainer ekspor ini diberlakukan mulai 1 Juli 2016.
Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Panjang, Pelabuhan Tanjung Emas dipastikan memberlakukan VGM.
Kepala Kantor Kesyahbandaran Pelabuhan Tanjung Priok Sahattua P Simatupang mengatakan aturan tersebut sesuai Amendemen Safety of Life at Sea (SOLAS) Tahun 1972 Bab IV Pasal 2 tentang Keselamatan kapal dan berat kotor peti kemas yang diangkut, maka peti kemas khusus ekspor akan diberlakukan dulu sedangkan peti kemas antarpulau akan diterapkan menyusul.
Untuk menjaga keselamatan kapal, Direktorat Jenderal Pehubungan Laut Kemenhub mulai 1 Juli 2016 akan memberlakukan regulasi yang didasarkan pada surat edaran International Maritime Organization (IMO) 3624 atau VGM SOLAS 74, dimana kontainer yang belum memiliki kode VGM atau ditimbang, dilarang dimuat dalam kapal.
Dengan terbitnya edaran soal VGM SOLAS 74, para pemilik barang yang memalsukan berat kontainer atau tidak akurasinya berat barang, pemilik barang akan dikenakan denda.
Ketentuan tentang VGM tersebut lahir dari berbagai insiden menyangkut kapal, muatannya, kru kapal serta pekerja di pelabuhan. Banyak kasus kontainer jatuh ke laut, kontainer berantakan di dalam kapal, bahkan kapal terbalik. Peristiwa tersebut muncul akibat tidak akuratnya berat kotor kontainer sehingga penempatannya (stowage plan) di kapal menjadi tidak tepat dan kapal tidak stabil. Pelabuhan di seluruh dunia juga memberlakukan ketentuan ini.
Pelindo III (Persero) akan menetapkan verifikasi berat kotor container ekspor atau verified Gross Mass (VGM) mulai 1 Juli 2016 mendatang. Hal ini menindaklanjuti Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention (Chapter VI, part A, regulation 2) tentang VGM yang diamandemen International Maritime Organization (IMO).
Kepala Humas Pelindo III, Edi Priyanto mengatakan, selain berencana secara aman ikuti data yang tersedia terhadap berat kotor container, operator terminal juga bakal melakukan pengecekan VGM.
“Pengelola terminal juga akan melakukan inspeksi di terminal yang melayani ekspor impor,” ujar Edi. Kata Edi menegaskan, saat menjalankan VGM, pelabuhan tak perlu persiapan khusus berlakukan peraturan IMO/SOLAS terkait verifikasi berat kotor peti kemas. Sebab sumber daya manusia (SDM) yang ada sudah sangat mumpuni.
Sementara itu, IPC Panjang juga akan menerapkan VGM (Verification Gross Mass) atau verifikasi berat kotor petikemas yang akan di ekspor melalui Terminal Petikemas (TPK) Pelabuhan Panjang.
Menurut, Asisten Kepala Biro Pengembangan & Quality Assurance Sistem Informasi IPC, Donald H. Sitompul, petikemas yang belum memiliki kode VGM atau ditimbang, dilarang dimuat ke dalam kapal. “Biro Sistem Informasi IPC bersama PT. ILCS (Integrasi Logistik Cipta Solusi) saat ini sedang mengembangkan sistem dan program logistik terpadu untuk mendukung penerapan VGM di pelabuhan-pelabuhan yang dioperasikan IPC,” ungkap Donald. (ow)