PT PELNI menyebutkan ada sejumlah kendala dalam mengambil alih layanan pelayaran ke Pulau Tidung. Kendala itu terkait dengan jenis pelabuhan yang masih bersifat tradisional.
“Kedalaman untuk bersandar di sana hanya dua meter, sementara kapal kami membutuhkan kedalaman empat meter,” ujar Direktur Utama PT PELNI Elfien Goentoro dalam konferensi pers di kantornya, di Gajah Mada, Jakarta.
Pernyataan tersebut merespons tugas pengambilalihan layanan pelayaran ke Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, dari Pelabuhan Kaliadem, Muara Angke. Ketidakcocokan antara kondisi pelabuhan dan karakteristik kapal yang dimiliki perseroan, menurut Elfien, terlihat dari perbedaan jenis kapal yang biasa dioperasikan perusahaan, yakni kapal besar dari besi dan baja. “Sementara di sana kapal kecil,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya sudah melakukan survei pada trayek itu. Menurut Elfien, saat ini kapal-kapal milik perseroan belum memenuhi kualifikasi untuk berlayar di rute itu, khususnya terkait dengan kesulitan ketika berlabuh atau bersandar di pelabuhan.
“Memang sempit dan dangkal, kalaupun bisa harus berpindah ke kapal kecil untuk merapat. Namun hal itu berisiko pada keselamatan dan kenyamanan penumpang,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menunjuk PT Pelni (Persero) dan PT ASDP Indonesia Ferry untuk masuk sebagai operator menyediakan jasa transportasi laut di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta. Keputusan itu diambil sebagai evaluasi untuk meningkatkan pelayanan transportasi laut di sana, seusai kecelakaan terbakarnya Kapal Motor Zahro Express, di perairan Tidung, Kepulauan Seribu, Jakarta. (***)