Kapal induk Liaoning siap berperang setelah tiga tahun menjalani pengujian, pelatihan dan evaluasi. Kapal induk itu telah bermanuver di Laut Bohai untuk menegaskan kedaulatannya atas klaim Laut China Selatan.
Kapal induk Liaoning dibeli China dari Ukraina pada tahun 1998. Kepemilikan kapal induk buatan Uni Soviet itu jadi tonggak kebangkitan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).
Menurut Komisaris politik Liaoning, Li Dongyou, kapal induk ini memiliki kemampuan tempur nyata. ”Sebagai kekuatan militer, kami selalu siap untuk perang dan kapasitas tempur kami juga perlu diuji oleh perang. Pada saat ini, kami akan melakukan yang terbaik untuk mempromosikan kekuatan kami dan menggunakannya untuk mencegah perang, serta siap untuk pertempuran yang sebenarnya setiap saat,” kata Li, seperti dikutip news.com.a.
Manuver kapal induk Liaoning melibatkan puluhan kapal perang dan pesawat-pesawat jet tempur. Manuver China ini memamerkan tembakan senjata anti-pesawat, anti-kapal dan rudal udara.
Kantor berita yang jadi corong Partai Komunis China, Global Times, merilis sebuah pernyataan dan foto kapal-kapal yang meluncurkan tembakan.
Beijing memiliki beberapa kapal induk baru yang sedang dibangun. Salah satunya adalah kapal induk tiruan Liaoning yang dijadwalkan akan diluncurkan dalam beberapa minggu.
Laporan tentang kesiapan tempur kapal induk China itu muncul hanya sehari setelah China terungkap menginstall berbagai senjata canggih di pulau-pulau buatan di Laut China Selatan yang jadi sengketa sejumlah negara.
Kementerian Pertahanan China telah membela pengerahan senjata-senjata canggih Beijing di kawasan sengketa.”Anda tidak akan menyiapkan ketapel jika orang lain berjalan angkuh melalui pintu Anda,” bunyi pernyataan kementerian tersebut.
Tangkap drone
Sementara itu Washington Post pada Sabtu (17/12) melansir berita Kapal Angkatan Laut Cina menangkap pesawat nirawak (drone) milik AL Amerika di Laut Cina Selatan. Pentagon, pusat Kementerian Pertahanan Amerika, menyatakan drone itu merupakan alat tes kondisi air.
Kapten AL Amerika Jeff David mengatakan peristiwa itu terjadi pada Kamis, 15 Desember 2016. “Lokasinya di sekitar 50 nautical mile timur laut Subic Bay,” ucapnya. Subic Bay merupakan perairan internasional di Laut Cina Selatan.
Pemeriksaan kondisi perairan dilakukan USNS Bowditch, sebuah survei kapal oseanografik. Dua pesawat tidak berawak diterjunkan untuk mencari tahu informasi yang bisa membantu operasi Angkatan Udara Amerika.
Namun sebuah kapal Cina mendekati area tersebut dan menjatuhkan bom. Satu pesawat tertangkap dan membawa drone itu.
Bowditch telah menghubungi pemerintah Cina untuk meminta drone dikembalikan. “Kami ingin drone dikembalikan dan berharap peristiwa ini tidak terjadi lagi,” ujar David. Kementerian Pertahanan telah melakukan pendekatan diplomatik kepada pemerintah Cina untuk meminta kembali data tersebut.
Insiden ini meningkatkan ketegangan atas klaim teritorial Beijing di Laut Cina Selatan, yang diwaspadai aliansi Amerika di wilayah itu. Kondisi ini menjadi penyebab militer Amerika melancarkan kampanye “kebebasan navigasi”. Pekan ini, tank Amerika melaporkan, Cina telah menempatkan senjata di wilayah itu, sehingga membuat situasi meningkat.
Menurut David, kapal seperti Bowditch secara rutin melakukan operasi di Laut Cina Selatan. AU Amerika menggunakan Seaglider, drone bawah laut yang bertugas selama bertahun-tahun untuk mengumpulkan sampel laut, untuk menunjukkan arah bagi kapal melalui sensor dan komunikasi satelit. (***/berbagai sumber)