Sudah lama China ingin menghidupkan kembali Jalur Sutra kuno melalui Sabuk Ekonomi Jalur Sutra atau Silk Road Economic Belt (Jalur Sutra Darat) dan 21st Century Maritime Silk Road (Jalur Sutra Laut).
Belakangan, dua konsep tersebut melahirkan Belt and Road Initiative (BRI) yang dipandang luas sebagai kebijakan luar negeri dan strategi ekonomi Tiongkok.
Indonesia masuk dalam salah satu negara yang memainkan peran dalam upaya China menghidupkan kembali Jalur Sutra Maritim. Pasalnya, jalur yang dibangun untuk menghubungkan Timur dan Barat ini melintasi Indonesia.
Presiden Joko Widodo mengatakan akan mencari tahu lebih dalam tentang inisiatif pembangunan global tersebut dalam pelaksanaan KTT Belt and Road yang akan berlangsung di Beijing pada 14-15 Mei 2017.
Sebab Indonesia menyimpan berbagai macam potensi sumber daya alam, termasuk 70% potensi minyak karena terdapat kurang lebih 40 cekungan minyak yang berada di perairan Indonesia. Sayangnya potensi kemaritiman yang besar itu masih kurang dimaksimalkan pemanfaatannya.
Dalam rangka memaksimalkan potensi tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen membawa Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. Hal itu pernah dikemukakannya pada Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Asia Timur (KTT EAS) di Myanmar, 13 November 2014 lalu.
Pada KTT Belt and Road akan dihadiri oleh sejumlah kepala negara, termasuk beberapa dari ASEAN dan Uni Eropa. Presiden Bank Dunia, Direktur Pelaksana IMF, dan Sekretaris Jenderal PBB dikabarkan juga akan hadir dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut.
Boleh jadi, ini pula yang melatarbelakangi keputusan Presiden Xi Jinping untuk mencetuskan gagasan 21st Century Maritime Silk Road dalam kunjungannya ke Tanah Air pada 2-3 Oktober 2013.
Bagi China, gagasan 21st Century Maritime Silk Road sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo mengenai Poros Maritim Dunia.
“Belt and Road Initiative, khususnya 21st Century Maritime Silk Road, sangat sinkron dengan strategi maritim global Indonesia. Jadi, kami berharap dengan diawali oleh kerja sama pemerintah daerah, bertukar gagasan atau informasi kita dapat lebih mengerti kebijakan satu sama lain, strategi pengembangan satu sama lain. Sehingga barulah kerja sama dan pertukaran konkret dapat dilakukan,” ujar Deputi Direktur Jenderal The Foreign Affairs Office of Fujian Provincial People’s Government Li Lin.
Untuk mewujudkan kerja sama konkret tersebut, saat ini Fujian, sebuah provinsi yang dijuluki “pintu gerbang” Jalur Sutra Maritim, telah menjalin hubungan kota kembar (sister city) dengan Provinsi Jawa Tengah sejak 2016.
“Kami berharap ini dapat menjadi langkah awal yang sangat baik bagi kerja sama pertukaran antar pemerintah daerah. Kita akan lebih sering saling kunjung untuk mengerti satu sama lain, lalu kami akan mendorong pebisnis kami untuk datang ke Jawa Tengah, begitu juga sebaliknya. Ini dilakukan untuk melihat potensi kerja sama,” ucap Li.
Dua tahun lalu (pada 2015), mantan Wakil Menteri Luar Negeri China He Yafei dalam diskusi “China’s One Belt, One Road Policy: To Enhance 21st Century Linkage between Asia and Europe” di Jakarta menyebutkan, Indonesia memiliki peran strategis dalam pembangunan 21st Century Maritime Silk Road. Baik secara geografi maupun geopolitik.
He Yafei menyatakan, Indonesia berpotensi besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kaya akan sumber daya alam. Selain itu, ia juga menyinggung posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.
“Indonesia dapat menjadi penghubung antara China dengan negara-negara Islam, karena populasinya yang sebagian besar adalah muslim. Saya yakin Indonesia akan memetik manfaat dari kerja sama dengan China,” kata He Yafei kala itu.
Disinggung terkait tujuan utama China di balik menghidupkan kembali Jalur Sutra, Li Lin menjelaskan bahwa BRI merupakan sebuah kerja sama internasional.
“China saat ini menjadi kekuatan ekonomi. Sejak reformasi ekonomi nyaris 40 tahun lalu sejumlah industri kami berkembang, kami memiliki keunggulan komparatif, dan kami percaya dengan kerja sama dapat dicapai kemakmuran bersama sehingga ujungnya dapat meningkatkan industri kami pula,” kata Li.
Li juga menyatakan, saat ini Fujian memiliki tiga pilar industri, yaitu petrokimia, manufaktur, dan elektronik.
“Di samping itu, kami juga memiliki sejumlah industri yang bertumbuh seperti farmasi, energi terbarukan, dan juga beberapa keunggulan komparatif tradisional seperti tekstil, bahan untuk produk kecantikan, dan sebagainya. Kami berharap semua industri ini dapat ditingkatkan melalui kerja sama internasional. Menurut saya, ini tidak hanya bermanfaat bagi Fujian, namun juga pihak yang satunya,” ungkap Li. (lip6/**)