Jika pelabuhan Patimban sudah dilakukan soft launching oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu, dan pembangunan Mega proyek ini terus dilanjutkan, pemerintah Singapura pun tak tinggal diam.
Singapura pun sudah sejak beberapa tahun lalu juga menyiapkan pelabuhan terbesar di seluruh dunia di Tuas.
Sayang, akibat pandemi covid-19, pembangunan pelabuhan ini sedikit terdampak. Sebagaimana dikatakan Menteri Trasportasi Singapura Khaw Boon Wan pada April tahun 2020 lalu.
Meski begitu, ungkap Khaw Boon Wan, pembangunan proyek raksasa tersebut masih bisa terkelola dengan baik. “Tetapi jika wabah terus berlanjut, itu dapat mengganggu pasokan peralatan dan bahan konstruksi,” ungkapnya.
Tahap pertama dari empat fase konstruksi pelabuhan Tuas, diharapkan menjadi terminal peti kemas terbesar di dunia, akan selesai pada tahun 2021, dengan nilai investasi diperkirakan sekitar US$ 1,8 miliar.
Hal yang sama pun dilakukan untuk Patimban. Saat ini pembangunan dermaga petikemas yang konon mampu menangani hingga 7 juta TEUs juga terus dikebut.
Pembangunan terminal petikemas pun dilakukan untuk NPCT2 di Tanjung Priok, karena kapasitas NPCT1 yang 1,5 juta TEUs sudah dianggap full.
Tetapi, apapun yang dilakukan Indonesia, rasanya sulit bisa berkompetisi dengan Singapura. Sebab, meski total throughput yang dilayani di semua terminal petikemas di Indonesia, tetap saja masih jauh dibawah Singapura.
Sebagai misal saja, pada dua bulan pertama (Januari-Februari) tahun 2020, throughput Pelabuhan Singapura mencapai sebesar 6,08 juta TEUs, atau naik 5,9% dibanding periode yang sama pada tahun 2019 yang sebesar 5,74 juta TEUs.
Throughput dua bulan di Singapura itu, hampir sama dengan capaian volume petikemas lewat Pelindo II selama setahun. Makanya, sampai kapan pun Indonesia, tak bakal bisa menyaingi Singapura.
Bahkan seluruh volume kargo (petikemas) yang ditangani melalui pelabuhan Indonesia, juga belum mampu mensejajarkan dengan Singapura.
Apalagi dengan disiapkannya Tuas sebagai transhipment port terbesar di dunia yang konon memiliki kapasitas dua kali lipat dari pelabuhan PSA yang hanya berkapasitas 36 juta TEUs. Indonesia akan semakin tertinggal jauh.
Pada saat melakukan peletakan batu pertama dimulainya pembangunan Tuas Megaport, beberapa tahun lalu, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyatakan, Tuas Megaport dirancang untuk menangani 65 juta TEUs.
Menurut Lee, pada waktu beroperasi nanti, Tuas Megaport akan menjadi pelabuhan peti kemas modern, dan akan menjadi pelabuhan full automatic terbesar di dunia. “Kapasitas Tuas Megaport akan menggantikan berbagai fasilitas beberapa pelabuhan yang ada di Singapura seperti Tanjong Pagar, Pasir Panjang, Keppel, dan Pulau Brani,” ujar Lee.
Konsep automatic full tersebut juga pernah digagas untuk diterapkan di NPCT.
Kalau di Tuas, memang benar-benar serba automatic, ada armada kendaraan pengangkut kontainer tanpa pengemudi karena sepenuhnya digerakkan oleh listrik. “Saat ini teknologi tersebut sedang diuji di terminal Pasir Panjang dan kendaraan angkut ini memiliki jejak karbon 25 persen lebih kecil dari kendaraan konvensional,” ungkap Lee waktu itu.
Gantry crane yang dipasang di rel otomatis juga sepenuhnya digerakkan listrik, menggunakan kamera dan sensor laser untuk presisi sehingga operator hanya perlu mengawasi derek dan crane dari jarak jauh.
Kata Lee, dua dermaga pertama dari pelabuhan Tuas diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2021, ketika pembangunan fase pertama selesai.
Seperti diketahui, bahwa pembangunan tahap pertama menghabiskan dana sekitar Sin $ 2,42 miliar atau sekitar Rp 242 triliun, dengan 21 dermaga laut dalam, yang akan mampu menangani sekitar 20 juta TEUs kargo setiap tahun ketika beroperasi penuh pada 2027.
Target full operasional pun dicanangkan pemerintah Indonesia untuk Patimban yakni 2027 mendatang. Apakah dengan beroperasinya Patimban, maupun Kijing, Kuala Tanjung dan seluruh pelabuhan di Indonesia bisa mengambil alih peran Singapura, rasanya juga masih sulit, karena Singapura memang untuk transhipment, beda dengan pelabuhan Indonesia. (**)