Program tol laut sudah berjalan lima tahun, sejak dicanangkan di tahun 2015 lalu.
Tol laut sebagai program andalan presiden Jokowi ini diklaim oleh Kemenhub sudah banyak membuahkan hasil, paling tidak disparitas harga antara pulau Jawa dengan pulau di wilayah Indonesia Timur sudah beda tipis.
Kata Abdulhamid Dipopramono, staf khusus Menhub, barang yang diangkut kapal tol laut semakin hari semakin bertambah. Begitu pula dengan angkutan manusianya (penumpang), dari tahun ke tahun terus meningkat.
Awalnya tol laut hanya melayani di enam trayek, namun tahun 2020 sudah ada 26 trayek. Demikian pula dengan kapalnya, kini sudah puluhan kapal tol laut menyinggahi daerah terpencil, terluar, tertinggal dan perbatasan (3TP).
Pelabuhan yang melayani juga bertambah, dari semula 43 jadi 81 pelabuhan singgah dan transhipment.
Operator tol laut juga bukan hanya BUMN saja (PT Pelni, PT ASDP dan PT Djakarta Lloyd), namun ada pula perusahaan pelayaran swasta nasional.
Kalau menilik dari tujuan tol laut selain untuk konektivitas dan jaminan kontinuitas ketersediaan barang, sekaligus mengatasi disparitas harga antardaerah, baik wilayah barat dan timur Indonesia maupun antara wilayah yang sudah maju seperti Jawa dengan wilayah-wilayah tertinggal, terluar, terpencil, dan perbatasan (3TP), cukuplah bagus.
Bahkan, dengan adanya program ini pembangunan infrastruktur juga akan terdorong merata sampai ke daerah 3TP.
Tentu saja dengan tol laut dapat meningkatkan investasi dan produktivitas di daerah, pemerataan pembangunan sampai daerah, kesejahteraan masyarakat daerah, dan mengurangi pengangguran di daerah, ter masuk di wilayah kepulauan.
Sayang, program tol laut yang diklaim telah berhasil meningkatkan perekonomian daerah 3TP tersebut, dinilai sebagian kalangan dapat menggusur usaha UMKM, jika konsepnya tak diubah.

“Sejak awal kan sudah di tentukan jenis comodity yang wajib diangkut tol laut, jadi harusnya kapal jenis apapun boleh angkut tetapi sesuai dengan jenis comodity yang sdh ditetapkan. Yang kita takutkan jika pemerintah berlakukan semua jenis comodity bisa diangkut tol laut, maka Mati Kita (pelayaran),” kata Stevens Lesawengan, Ketua DPC INSA Surabaya, saat dihubungi Ocean Week, Senin (4/1/2021).
Stevens menggambarkan bahwa Tol Laut itu konsepnya benar kalau pemerintah memperhatikan kesenjangan sosial antara pusat dan indonesia timur pada khususnya atau daerah 3TP.
Namun, ujarnya, sejak awal pihaknya kurang sependapat kalau transportasi laut itu adalah kontributor dari pada high logistik cost nasional, karena pada waktu itu pemerintah membandingkan freight international dan lokal jauh lebih mahal lokal. “Nah saat ini terbukti bahwa omongan itu salah, dan kami selalu counter opini tersebut. Kami sampaikan bahwa jauh sebelum Tol Laut ini di berlakukan, armada-armada kami sudah over supply,” jelas Stevens.
Karena over supply, ungkap Stevens, seharusnya pemerintah tidak perlu membuat armada baru lagi, cukup berdayakan saja armada nasional yang ada.
“Caranya?, tentukan jenis kapal bukan hanya container dan kemudian panggil INSA untuk kerja sama dengan anggota-anggota yang ada, dengan kata lain serahkanlah penuh ke INSA. INSA akan buat metode sesuai dengan mindset pemerintah maunya apa?,” katanya panjang lebar.
Bahkan, menurut Stevens, tidak perlu ada subsidi, dan kalaupun ada itu hanya sebatas permudah aturan-atutan yang ada di Kementrian Perhubungan, contohnya, INSA minta NCVS di berlakukan, sertifikasi-sertifikasi kapal maupun pelaut tidak perlu banyak, tidak sering di tangkap oleh oknum-oknum di laut.
Sementara itu, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut, Dr. Capt Antoni Arif Priadi ketika ditanya Ocean Week jika ada usulan supaya tol laut tak hanya mengangkut menggunakan kontainer saja, tapi barang curah (non petikemas), menyatakan kalau tol laut menggunakan curah, muatan curahnya seperti apa, dan apakah merupakan Bakokting sesuai dengan Permendag no. 38 tahun 2018.
“Apabila curah maka muatan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain dan ini akan menyebabkan masalah lain dengan kerusakan muatan. Peti kemas dipilih salah satunya adalah karena lebih mudah untuk protect cargo dan segregate cargo,” kata Capt. Antoni, Senin pagi ini.
Lagi pula, ujarnya, muatan curah juga memerlukan gudang yang luas yang terlindung dari hujan dan panas. Sementara Petikemas tidak memerlukan itu.
“Kapalnya saja didesainnya petikemas. Kalau non petikemas mau dimuat dimana.Muatan non petikemas itu seperti apa. Ada minyak, ada curah bersih, ada curah kotor, ada general cargo, ada RoRo. Ini belum memungkinkan karena curah juga volumenya nggak bisa sedikit. Harus volume besar? Pertanyaannya apakah bener ada warga di pulau 3TP yang punya modal besar untukk beli muatan curah yang banyak?,” kata Antoni balik bertanya.
Tapi, terlepas dari masih adanya pro kontra tol laut, kalau melihat data dari kementerian Perdagangan mencatat selama kurun waktu Januari-Agustus 2020, ada 49 daerah yang dilewati trayek tol laut telah mengalami penurunan harga pada kisaran 27,26 – 41,67%.
Misalnya di Kabupaten Anambas, Boalemo, Sangihe, Kepulauan Sitaro, Fakfak, Buru Selatan, dan Kepulauan Aru.
Meski begitu, penilaian sebagian kalangan yang mengatakan belum maksimalnya program tol laut tetap saja ada.
Bahkan Presiden Jokowi beberapa bulan lalu pun pernah menyentil tentang belum maksimalnya program ini pada rapat terbatas yang khusus membahas program tol laut.
Kritik dari Presiden ini harus dijadikan cambuk bagi pelaksana program tol laut ini sebagai evaluasi untuk kemudian dapat menemukan jalan keluarnya.
Kenapa harga barang masih juga belum sama antara daerah satu dengan daerah yang lain. Sejauhmana kontinuitas kapal tol laut melayari daerah 3TP tadi.
Memang tak mudah untuk itu, mengingat Kemenhub hanya menyiapkan alat angkutnya saja (kapal), sedangkan urusan harga bukan lagi menjadi domainnya, karena itu Kemendag.
Karena itu, untuk keberhasilan tol laut perlulah melibatkan semua unsur terkait, seperti Kementerian Perhubungan, BUMN, pemerintah daerah, Kemendag, dan perusahaan swasta beserta asosiasi-asosiasi usahanya.
Misalnya peran BUMN yang mengelola pelabuhan dan logistik, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berhubungan dengan komoditas; Pemerintah Daerah, Ke menterian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa PDTT yang terkait dengan produktivitas daerah.
Lalu bagaimana dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berhubungan dengan akses jalan ke Pelabuhan dan pasar; Kementerian Perdagangan terkait dengan penetapan harga dasar komoditas, gerai/outlet, dan jaringan perdagangan; Kementerian Keuangan, BUMN dan perusahaan swasta yang mengelola armada kapal, pergudangan, dan distribusi.
Selain itu masih pula ada peran para tengkulak yang kerap memainkan harga, sehingga berakibat pada tingginya harga barang.
Jadi, langkah apa yang akan dilakukan pemerintah (Kemenhub) untuk program tol laut berikutnya, strategi yang bagaimana yang akan diterapkan, semua menunggu kabar baik dari program yang sudah memakan banyak anggaran negara ini. (**)