Dengan mempertimbangkan aspek keselamatan, performa, serta biaya perawatan, INSA mengusulkan agar penggunaan biodiesel dengan campuran minyak kelapa sawit 20% (B20) untuk angkutan laut ditunda. Usulan penundaan tersebut telah disampaikan INSA kepada pemerintah melalui surat bernomor 153/INSA/X/2018.
“Kami telah sampaikan surat ke sejumlah menteri seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, supaya menunda penggunaan biodiesel dengan campuran 20% (B20),” kata Carmelita Hartoto, Ketua DPP INSA saat dihubungi Ocean Week, di Jakarta.
Carmelita menyatakan, bahwa INSA sangat mendukung kebijakan mandatori penggunaan B20 milik pemerintah. Namun, INSA meminta ada kajian teknis terlebih dahulu untuk bisa menjelaskan dampak penggunaan B20 terhadap mesin kapal. “Kami sudah sampaikan, kajian penggunaan B20 belum pada angkutan kapal,” katanya.
Menurut Carmelita, jika pemakaian B20 dipaksakan kepada industri pelayaran, dikhawatirkan hal ini dapat berimbas pada investasi awal yang cukup besar untuk pembersihan tangki, pipa dan sistem BBM, pemeliharaan sistem penyimpanan B20.
“INSA pun menekankan kandungan kualitas B20 belum konsisten karena belum dipantenkan dengan standar nasional dikhawatirkan bisa berdampak terhadap kerusakan bagian kapal sehingga berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian antara pemberi garansi pabrik dan pihak asuransi kapal,” ungkapnya lagi.
Oleh karena itu, ujar Carmelita, INSA telah memberikan sejumlah masukan kepada Kementerian ESDM dalam surat yang sudah diterima oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pertama, pemakaian B20 hanya memungkinkan untuk kapal baru yang mesinnya sudah diperisiapkan untuk memakai B20.
Kedua, produsen B20 mengadakan riset agar dapat menghasilkan produk yang kompatibel tanpa menimbulkan efek ongkos perawatan tinggi. Ketiga, produsen B20 juga harus melakukan analissi efek terhadap saluran yang menggunakan tembaga atau nikel tembaga.
Keempat, uji emisi B20 untuk perbandingan dengan persyaratan polusi udara. Kelima, pemerintah agar bisa mensyarakatkan pihak asuransi dan manufaktur mesin untuk membiayai kerusakan yang disebabkan B20.
Terakhir, produsen B20 wajib memasukkan analisis untuk standar penggunaan kapal angkut air. “INSA sangat berharap pemerintah menunda pemakaian B20 khususnya industri pelayaran sampai dengan adanya hasil analisis,” kata Carmelita. (***)