Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) menilai perlunya pemerintah memberikan perhatian lebih pada pelaku usaha importasi, dan juga ikut meluruskan stigma negatif dari pihak atau masyarakat tertentu.
Sebab, kata Ketua Umum GINSI Capt. Subandi, importasi telah berkontribusi besar pada pendapatan negara sekitar Rp 212 triliun di tahun 2019 (dari pajak bea masuk, ppn dan pph barang).
“Importasi juga telah menumbuh kembangkan sektor usaha lain seperti perusahaan pelayaran, pelabuhan, pergudangan, angkutan darat, jasa pengurusan barang, dan sebagainya. Termasuk menyerap jutaan tenaga kerja disektor yang disebutkan diatas,” katanya kepada Ocean Week, usai penyelenggaraan seminar nasional yang digelar Badan Pengurus Pusat ( BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia ( GINSI ) melalui Aplikasi Zoom, Rabu 5 Agustus 2020.
Karenanya pemerintah juga harus mau menertibkan biaya-biaya diluar pelabuhan yang tidak mengikuti aturan dan cenderung sesukanya, yang akibatnya menjadikan biaya logistik kita tetap tinggi.
“Kalau perlu juga menertibkan biaya-biaya yang tidak ada kegiatanya, seperti biaya penebusan DO di agen pelayaran atau agen forwarding, karena kita menganut asas “no service no pay”.
Turut hadir sebagai narasumber dalam seminar itu, Direktur Impor Direktorat Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI, I Gusti Ketut Atawa, Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI, Heru Pambudi, dan Dirjen ILMATE Kemenperin RI, Taufiek Bawazier.
Capt. Subandi mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan biaya produksinya sangat tinggi. Hal itu bisa diukur dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang nilainya lebih dari enam. Artinya untuk menghasilkan satu output diperlukan capital sebanyak enam kali lipat sehingga menambah biaya bagi produsen.
Menurut Subandi, selama pandemi covid 19, kebutuhan pasokan bahan baku yang utamanya berasal dari Asia Timur (China, Korea, Jepang) cukup mengambat pergerakan produksi di negara raksasa manufaktur seperti Amerika dan Jerman.
“Dampak Covid-19 membuat situasi ekonomi global turut mempengaruhi perdagangan internasional. Banyak negara yang mengalami penurunan pertumbuhan perdagangan Internasional. Bahkan, pertumbuhan perdagangan global diprediksi turun menjadi 1,1 persen dari sebelumnya 3,6 persen di 2018,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Subandi menyampaikan jika saat ini perlu kebijakan dengan implementasi yang cepat dan terukur, karena birokrasi dan syarat-syarat yang sangat ketat justru akan menjadi hambatan dan tidak menarik bagi dunia usaha. “Kebijakan penyelamatan ekonomis semestinya dapat diimplementasikan segera agar dunia usaha tidak terlalu lama diam dan tertekan. Hal ini penting dilakukan agar sektor-sektor lainnya juga ikut bergerak,” ucapnya.
Subandi berharap kebijakan mengenai importir yang diatur dalam RUU Cipta Kerja dapat mampu menguatkan kembali ekonomi Indonesia.
Sementara itu, ketua Ginsi Jawa Tengah Budiatmoko menyatakan mendukung dan sepakat terhadap statement Subandi.
“Saat ini memang diperlukan kebijakan yang tepat dengan meminimalisasi
birokrasi dan mempermudah syarat-syarat. Aturan birokrasi harus diikuti, tapi jangan malah mempersulit. Syarat-syarat juga mesti dipenuhi karena importir tidak boleh melanggar perundang-undangan yang berlaku. Investor mau menanamkan modal di Indonesia jika birokrasi dan syarat-syaratnya tidak memberatkan,’’ ungkap Budiatmoko.
Kokok, panggilan akrab Budiatmoko mencontohkan bahwa kehadiran investor dari Tiongkok yang mendirikan PT Fuling Food Packaging Indonesia (FFPI) di Kota Semarang, bersemangat melakukan investasi karena birokrasi dan syarat-syaratnya mendapat kemudahan.
Selain itu, perusahaan yang bergerak di bidang pengepakan makanan ini mendapat dukungan penuh dari BPD GINSI Jateng, Bea Cukai Jateng/DIY, Pelayanan dan Pabean Bea Cukai, Pelindo III, Pemkot dan DPRD Semarang.
‘’Pandemi Covid-19 memang membuat ekonomi kita semakin tertekan. Namun, kalau ada kebijakan baru ekonomi dari
pemerintah, kami yakin roda ekonomi akan bergerak dinamis lagi,’’ kata Budiatmoko.
Dia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini bakal minus. Apalagi dimasa pandemi covid 19 ini membuat pasokan bahan baku
ke Indonesia dari Tiongkok, Korea Selatan dan Jepang mengalami pelambatan.
‘’Kami hanya bisa berharap wabah korona segera berlalu sehingga dunia perdagangan perlahan-lahan bergerak naik. Dibutuhkan sinergitas semua pihak agar ekonomi bisa kembali seperti semula,” tutup Budiatmoko. (***)