Perdagangan antarpulau berbagai jenis barang, khususnya bahan pokok dan barang penting, perlu dihitung, diukur dan dicatat (ditally) agar pemerintah memiliki data perdagangan dalam negeri yang akurat sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan, kata Ricky Handersend, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat GTMI (Gabungan Tally Mandiri Indonesia).
Kata dia, hal itu terjadi karena perdagangan antarpulau di Indonesia saat ini tidak tercatat dengan baik akibat proses pengapalan dan pendistribusiannya tidak dilakukan sesuai UU Pelayaran, Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di Perairan.
Dalam rilisnya yang dikirim ke Ocean Week, Kamis (10/8) pagi, menyebutkan sesuai Undang-Undang No.17/2008 tentang Pelayaran pasal 31 ayat (2) butir e, jasa terkait dengan angkutan di perairan adalah tally mandiri. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2010 tentang Angkutan di Perairan pasal 79 ayat (2) butir e.
“Namun kegiatan jasa tally mandiri tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, kegiatan tally mandiri sudah diatur juga dalam SK Menteri Perhubungan No. KM-15/2007,” kata Ricky.
Dia menambahkan bahwa kegiatan tally mandiri tidak hanya wajib dilakukan dalam proses bongkar muat barang di kapal-kapal dalam negeri (antarpulau), tetapi juga dalam proses bongkar muat kapal internasional (ekspor dan impor).
Selain menghasilkan data barang yang akurat, lanjut Ricky, tally mandiri dapat mencegah terjadinya illegal trading (penyelundupan), perlindungan terhadap konsumen serta dapat mengoptimalkan pendapatan negara dari proses perdagangan antarpulau maupun ekspor dan impor.
Ricky mencontohkan bahwa dalam beberapa bulan yang lalu ada pengapalan 100 ekor sapi dari Kalimantan Utara ke Jakarta tapi dilaporkan hanya 70 ekor sapi. “Yang lebih rawan lagi di daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, banyak barang keluar masuh tak tercatat dengan baik sehingga merugikan perekonomian nasional”.
Demikian juga data impor Indonesia dari China seharusnya volume dan nilainya sama dengan ekspor dari China ke Indonesia. Namun kalau data statistik kedua negara disandingkan akan terjadi selisih yang cukup signifikan. Pada tahun 2012 lalu misalnya, mencapai angka sekitar 10 miliar dolar AS, dan hal ini terjadi terus serta tidak hanya dengan China saja, tetapi hampir dengan semua negara. Selisih angka perdagangan ini dapat diperoleh dari data yang dipublikasikan oleh WTO (World Trade Organization) dan lembaga internasional lainnya.
Memang selama ini, kata Ricky lagi, masih ada pihak yang menilai bahwa tarif jasa tally mandiri terlalu mahal dan menambah biaya logistik. “Hal ini tidak benar, karena tarif tally sangat murah bila dibandingkan dengan jasa survei maupun kebijakan VGM yang diwajibkan IMO”.
Tarif untuk mendapatkan sertifikat VGM (Verified Gross Mass) sebesar Rp 125.000 per kontainer 20/40 kaki, sementara penerbitan dokumen yang sama oleh perusahaan tally untuk EIR (Equipment Interchange Report), CDLR (Container Discharging & Loading Report) dan CIR (Container Inspection Report) hanya Rp 28.500 atau per dokumen hanya Rp. 9.500. “Jadi yang menambah biaya logsitik itu penerbitan VGM, bukan dokumen tally yang diterbitkan oleh perusahaan tally mandiri.”
Demikian juga bila dibandingkan dengan jasa surveyor, ungkap Ricky, tarif jasa tally mandiri lebih murah. Misalkan untuk barang curah seperti komoditi semen, tarif jasa tally mandiri tertinggi hanya US$ 750 per kapal, sedangkan jasa surveyor bisa mencapai US$ 1.500 per kapal. “Jasa surveyor lebih mahal karena sesuai dengan permintaan pengirim (shipper) atau penerima barang (consignee).
Untuk itu GTMI mengimbau instansi pemerintah terkait agar mendukung pelaksanaan tally mandiri di pelabuhan secara konsisten dan konsekuen, karena tally mandiri pada dasarnya tidak dapat terpisahkan dengan program pemerintah dalam membangun Tol Luat dan menjadi Indonesia sebagai poros maritim dunia serta hal ini sesuai dengan Nawa Cita yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia. (ril/**)