Musim angin barat selalu menjadi momok bagi pelayaran niaga dan nelayan, terutama untuk daerah yang seluruh pantainya menghadap ke arah barat. Di musim ini selain curah hujan tinggi, juga disertai angin kencang yang bisa membahayakan kapal dan pesisir pantainya.
Kabupaten Pandeglang adalah wilayah yang memiliki pantai terpanjang di Provinsi Banten, yakni mencapai 307 kilometer serta pulau terbanyak yakni 33 pulau, diantaranya Pulau Tinjil, Panaitan dan Peucang. Di kabupaten ini terdapat Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991. Selain Badak Jawa, masih ada beberapa lagi hewan langka yang dilindungi didalam Taman Nasional tertua di Indonesia ini.
Tepat diarah barat dari kabupaten ini berdiri gunung api paling fenomenal di dunia, yaitu Krakatau. Gunung yang memiliki sejarah panjang dan pernah merubah peradaban dunia dengan letusan maha dahsyatnya di 1883 yang menewaskan 36,417 orang pada masa itu. Letusan gunung ini pada 2018 juga mengakibatkan tsunami yang menewaskan 426 orang, melukai 7.202 orang dan 23 dinyatakan hilang.
Alur laut Kabupaten Pandeglang dilintasi kapal antar benua, dan pastinya kapal-kapal yang menuju ke selatan pulau jawa seperti Cemindo di Bayah, PLTU Pelabuhan Ratu, Cilacap sampai ke PLTU Pacitan. Di Pandeglang sendiri ada PLTU Labuan yang bersebelahan dengan kantor syahbandar (KUPP) kelas 3 Labuan.
Apabila kita gabungkan elemen-elemen Angin barat, TNUK, Gunung Krakatau, Alur Kapal Niaga, dan Syahbandar dalam perspektif Undang Undang 17 tahun 2008/ UU 66 tahun 2024 maka hasilnya adalah Keselamatan dan Keamanan Pelayaran serta Perlindungan Lingkungan Maritim yang memang menjadi tugas pemerintah.
Dalam satu dekade ini, banyak kecelakaan kapal dan tongkang yang berulang-ulang di wilayah laut Kabupaten Pandeglang tanpa dibuatkan kajian lengkap untuk menentukan langkah perbaikan guna meminimalisir kecelakaan kapal dan tongkang. Sialnya, banyak kecelakaan tersebut terjadi di area konservasi dan mengganggu kehidupan habitat yang dilindungi pemerintah dan UNESCO. Alih-alih membantu pemerintah pusat mencarikan jalan keluar permasalahan yang spesifik ini, beberapa pejabat di KUPP Labuan malah bertindak kontra produktif dengan membiarkan kecelakaan kapal tanpa penyelesaian secepat-cepatnya. Penumpukan bangkai kapal akibat dari kecelakaan yang tidak ditangani menjadi masalah bagi beberapa pihak terutama Taman Nasional Ujung Kulon, serta masyarakat pesisir.
Apalagi penutuhan (pemotongan kecil-kecil) bangkai kapal di pantai sudah menjadi kegiatan umum yang dilakukan di kabupaten Pandeglang. Hal ini sudah jelas dilarang oleh pemerintah dan IMO (Hongkong Convention) karena banyaknya zat kimia yang membahayakan saat pemotongan kapal dilakukan di tempat yang tidak memiliki izin.

Penulis pernah melakukan kegiatan pembersihan tumpahan batubara di TNUK atas perintah dari Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (PSLH), Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akibat dari kecelakaan kapal 1 tahun sebelumnya yang tidak dibersihkan secara langsung.
Sama-sama kita pahami bahwa semestinya saat terjadi kecelakaan kapal dan dilakukan usaha salvage, maka kegiatan itu harus bisa diselesaikan dengan mengangkat kapal beserta muatannya. Tetapi yang terjadi adalah muatan yang tumpah itu tidak ditangani secara langsung sehingga berlarut-larut sampai 1 tahun lebih dan membuat KLH serta Balai Taman Nasional Ujung Kulon bertindak untuk menyelamatkan wilayahnya.
Di tempat yang spesifik seperti itu maka berlakulah adagium hukum lex specialis derogate lex generalis, karena TNUK sendiri secara khusus dilindungi oleh Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Maka setiap kegiatan harus tunduk kepada peraturan khusus tersebut.
Bukannya membantu kegiatan pembersihan, pihak KUPP Labuan malah menggerakkan massa untuk mendemo dan melaporkan kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan hukum khusus tersebut ke pihak kepolisian. Padahal penulis juga sudah bertanya dan meminta arahan dari Direktur KPLP atas kegiatan yang dilakukan. Tindakan kontra produktif ini jelas bertentangan dengan tupoksinya sendiri dalam melindungi lingkungan maritim dan menjaga keselamatan serta keamanan pelayaran.
Saat ini juga sedang ada masalah pencemaran hebat yang terjadi tepat di samping PLTU Labuan, dimana sebuah tongkang kandas dan patah serta menumpahkan seluruh muatannya kelaut dan pesisir pantai. Ini adalah pengulangan kejadian-kejadian tahun sebelumnya yang tidak dijadikan pelajaran serta dicarikan jalan keluarnya oleh pejabat berwenang di KUPP Labuan. Bahkan masih ada lagi kapal kandas yang hampir patah di Selatan Ujung Kulon serta tongkang dan tug boat yang terdampar 2 minggu lalu.
Harus kita ingat bahwa penempatan ASN juga harus mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 yang menggantikan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Didalamnya jelas disebutkan bahwa untuk merotasi, mutasi dan promosi ASN harus berdasarkan kepada kompetensi, kualifikasi dan sertifikasi ASN yang bersangkutan.
Atas dasar penjelasan diatas, maka langkah pemerintah yang paling nyata dan bermanfaat adalah dengan mengganti petugasnya yang tidak kompeten dengan orang-orang yang memiliki passion, memiliki pengalaman, pendidikan serta pengetahuan mendalam tentang pelayaran. Karena arti dari pelayaran itu sendiri menurut UU 17 tahun 2008 adalah satu kesatuan dari kegiatan Angkutan Perairan, Kepelabuhanan, Keselamatan dan Keamanan, serta Perlindungan Lingkungan Maritim. (Capt. Zaenal A. Hasibuan, Alumni STIP 1990, Pengusaha Pelayaran)