Pandemi covid-19 yang berasal dari Wuhan China yang kemudian menjadi bencana dunia, termasuk Indonesia sejak Maret 2020 lalu, berdampak negatif pada perekonomian. Dunia usaha juga ikutan terdampak, bahkan selama kurang lebih 10 bulan terakhir ini, perekonomian nasional cukup berat.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi menceritakan bahwa selama 2008-2019, gejolak ekonomi dunia pada umumnya bersumber dari sektor keuangan, energi maupun perdagangan. Tetapi, gejolak ataupun krisis-krisis itu tidak begitu nyata menekan sisi permintaan dan penawaran (demand and supply).
“Namun, pada akhir tahun 2019 atau memasuki awal 2020, hampir seluruh negara di dunia harus menelan pil pahit akibat wabah corona virus (Covid-19), dimana gejolak ini bersumber dari sektor kesehatan dan melumpuhkan perekonomian karena menekan kinerja sisi demand and supply,” kata Yukki kepada Ocean Week, Jumat pagi (25/12).
Kondisi ini, menurut Yukki, semakin mengkhawatirkan karena dunia belum berpengalaman menangani covid-19. Langkah yang kemudian diambil oleh hampir di semua negara adalah bagaimana menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Tujuannya tak lain adalah agar perekonomian kembali membaik dimasa mendatang.
“Oleh karena itu, kita harus optimistis dan berusaha sekuat tenaga secara bersama-sama agar pertumbuhan ekonomi di Indonesia mampu kembali bangkit pada tahun 2021,” harap Yukki Hanafi.
Seperti diketahui, ungkap Yukki, pihak dana moneter internasional (International Monetery Fund/IMF) melalui World Economic Outloook–nya pada medio Oktober 2020 telah merevisi pertumbuhan ekonomi dunia dari sebelumnya -5,5% menjadi -4,4% karena perjalanan perekonomian di tahun depan masih agak rumit (a long and difficult accent).
Sementara itu, kinerja ekonomi dunia pada tahun 2020, hanya Cina yang tumbuh positif sementara 5 negara Asean (Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia) masih negatif.
![](https://oceanweek.co.id/wp-content/uploads/2020/12/24282-300x200.jpg)
Chairman Asean Federation of Forwarders Association (AFFA) ini juga mengungkapkan bahwa imbas Covid-19 telah mempengaruhi perilaku industri logistik dimana bacward and forward linkage sektor logistik kepada industri sangat kuat.
“Ini artinya, jika ada penurunan atau kenaikan aktivitas industri, maka aktivitas logistik akan mengalami penurunan atau kenaikan yang lebih besar,” kata Yukki.
Yukki juga mengemukakan, secara teori, anatomi resesi yang diakibatkan Pandemi Covod-19 sangatlah berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya karena dampak yang ditimbulkan juga berbeda terutama terhadap sektor manufaktur.
Sementara itu, dari sisi keuangan perbankan, dana pihak ketiga di perbankan (BUMN dan Swasta) meningkat tajam, sementara kredit menurun. Hal ini menunjukkan kecenderungan berinvestasi menurun.
Meski begitu, ungkap Yukki, tidak semua sektor mengalami penurunan akibat Pandemi Covid-19 di tahun 2020 itu.
Kata Yukki, ada sejumlah sektor justru mengalami pertumbuhan seperti bidang informasi dan tehnologi (IT), komunikasi, kesehatan dan pertanian. Bahkan sejak Agustus 2020, sektor-sektor tersebut justru alami pertumbuhan signifikan meskipun pada bulan-bulan sebelumnya sempat menghadapi tekanan imbas Covid-19.
Yukki bercerita bahwa pada pertengahan Oktober 2020, telah ditandatangani Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) oleh 15 negara yang terdiri dari 10 negara Asean ditambah Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.
“RCEP juga menyampaikan ukuran-ukuran ekonomi dari fakta ke 15 negara tersebut, antara lain; merepresentasikan 29,6% populasi dunia, 27,4% perdagangan dunia dan 30,2% PDB dunia serta 29,8% FDI dunia. Hal itu menunjukkan market size yang sangat besar, termasuk oppurtunity yang juga besar, sehingga isue-isue mengenai daya saing menjadi keniscayaan,” kata Yukki.
Memasuki kwartal terakhir tahun 2020, pebisnis logistik dan stakeholders dikejutkan dengan persoalan international shipment yang dipicu masalah kelangkaan peti kemas/kontainer.
Padahal selama ini, ungkap Yukki, international shipment sangat dipengaruhi oleh perdagangan dari dan ke USA. Sementara disisi lain, angkutan intra Asia dianggap kurang menguntungkan (shallow margin) sehingga secara urutan daya tarik angkutan adalah menuju USA, Eropa, baru kemudian Intra Asia.
“Kelangkaan peti kemas juga dialami sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia yang disebabkan (salah satunya) akibat faktor menurunnya perdagangan global termasuk aktivitas ekspor USA mengakibatkan industri shipping global merasionalisasi biaya dengan melakukan pending shipment,” kata Yukki menjelaskan.
Menurut komisari PT TPS Surabaya ini, persoalan tersebut semakin rumit, tatkala importasi oleh USA yang tidak diimbangi dengan kegiatan ekspornya, sehingga mengakibatkan peti kemas eks-impor tertahan di negara itu dan terjadi kelangkaan peti kemas secara global, termasuk di Indonesia.
Disisi lain, wacana intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan peti kemas tersebut kurang efektif apabila menggunakan insentif karena memerlukan biaya besar. “Pasalnya, kondisi semacam ini secara alami akan normal lagi pada saat perdagangan duna sudah pulih kembali sesuai mekanisme pasar,” jelasnya.
Yukki uga menyataka bahwa mahalnya angkutan untuk international shipment atau incompetitiveness angkutan dari dan ke Indonesia, cenderung dipengaruhi perilaku industri dan perdagangan Indonesia, dimana importasinya adalah heavy cargoyang menggunakan peti kemas berukuran 20 feet, sementara untuk ekspor umumnya menggunakan peti kemas 40 feet seperti pada pengapalan komoditi alas kaki, elektronik dan furniture dan sebagainya.
Jadi, dalam setiap kegiatan impor harus merepo peti kemas 20 feet, sedangkan keperluan ekspor harus mendatangkan peti kemas kosong 40 feet yang semuanya diperhitungkan dalam tarif angkut atau freight.
“Namun, dibalik semua tantangan dan persoalan yang telah sama-sama kita hadapi di sepanjang tahun 2020, dapat diambil hikmahnya sebagai modal motivasi pelaku usaha khususnya disektor logistik dalam melangkah pada tahun depan,” tutur Yukki.
Dia berharap pada tahun 2021, pandemi covid-19 sudah bisa hilang, seiring dengan sudah adanya vaksin untuk virus tersebut.
“Semoga tahun 2021 menjadi tahun kenormalan baru, dan perekonomian kembali pulih, serta dunia usaha bisa berjalan normal,” tutup Yukki Nugrahawan Hanafi. (OW/**)