PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) menyatakan sampai saat ini pemerintah belum menugaskan kepada BKI menjadi salah satu lembaga sertifikasi untuk mensertifikasi ulang kelayakan petikemas sebagaimana PM 53 tahun 2018 tentang kelayakan petikemas dan berat kotor petikemas terverifikasi.
“Sampai sekarang ini BKI belum diberi penugasan dan juga belum mengetahui Juknis (petunjuk teknis) mengenai PM 53 tersebut. Jadi kita tunggu saja,” kata Syaifudin Wijaya, direktur PT BKI kepada Ocean Week, saat dimintai komentar sehubungan dengan kekhawatiran pelayaran dan eksportir importir, mengenai sertifikasi ulang petikemas siapa yang harus bayar.
Sebelumnya Syaifudin pernah mengatakan, bahwa BKI memang sempat dipercaya menjadi lembaga sertifikasi untuk kelayakan petikemas. Namun, semenjak PM 53/2018 keluar, kewenangan BKI sebagai lembaga sertifikasi dicabut. “Saat ini kami sudah mengajukan kembali ke Kemenhub untuk itu (sebagai lembaga sertifikasi kelayakan petikemas), tetapi sampai sekarang masih belum keluar ijinnya,” ungkapnya.
Pada berita yang ditulis Ocean Week sebelumnya, Kemenhub menjanjikan Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) PM 53 tahun 2018 tentang kelaikan petikemas dan berat kotor petikemas terverifikasi akan diumumkan pada bula November mendatang. Mengingat sampai sekarang, bagaimana teknis pelaksanaan di lapangan masih masih diperdebatkan. Terutama soal siapa yang bakal membayar atas beban pemeriksaan petikemas tersebut.
Wakil Ketua Umum I DPP Indonesian National Shipowners Association (INSA) Witono Soeprapto saat dihadapan wartawan di Kantor INSA, menyatakan asosiasi pelayaran ini tidak ingin ada biaya tambahan yang ditimbulkan oleh verifikasi ulang kelaikan kontainer. “INSA akan terus memantau pembentukan aturan teknis Permenhub No PM 53/2018 yang menurut rencana terbit November mendatang,” ungkapnya.
Dalam PM 53 tersebut, Pasal 68, ujarnya, peti kemas lama yang telah diuji dan disetujui oleh badan klasifikasi asing atau organisasi di luar negeri atau pemerintah negara lain yang diakui IMO, dibebaskan dari pemeriksaan dan pengujian kontainer di Indonesia.
Sementara itu, Dhany Novianto, General Manager Mediterranean Shipping Company (MSC), pelayaran asing yang bermarkas di Jenewa Swiss menyatakan, pebisnis pelayaran asing di Indonesia merasa khawatir akan rencana pemerintah yang membebankan biaya inspeksi kontainer kepada shipping line. Karena hal itu membuat ongkos logistik menjadi semakin mahal, dan itu tidak sejalan dengan program Presiden Jokowi yang selalu menginginkan cost logistik dapat ditekan.
“Semua petikemas yang kami gunakan untuk angkutan barang ke Indonesia, semua layak laut (pakai). Kami sangat menjaga kepercayaan publik. Kami mendengar, pemerintah (Kemenhub) akan fokus pada verifikasi ulang kontainer luar negeri pada saat pelaksanaan PM 53/2018 di awal Januari 2019 nanti. Ini akan menjadikan Indonesia kurang bisa bersaing dan tidak menarik buat para investor,” kata Dhany kepada Ocean Week, Kamis (11/10) pagi.
Jadi, ungkap Dhany, kebiasaan pada mekanisme pasar, setiap ada tambahan biaya operasional, baik karena kenaikan harga komponen, atau karena kebijakan pemerintah, yang terdampak pada akhirnya adalah cargo owner, eksportir maupun importir. “Akhirnya berujung pada masyarakat, harga jadi naik,” ujarnya lagi.
Menurut dia, setiap shipping line mayoritas sudah mempunyai prosedur penetapan kelaikan kontainer masing-masing, dengan memberlakukan pengujian, pemeliharaan, dan perbaikan menurut standard the Institute of International Container Lessor (IICL) yang dilakukan oleh depo-depo yang ditunjuk pelayaran. Dia mencontohkan, untuk MSC juga menunjuk depo yang memiliki standard IICL dan verifikasi berkala dilakukan dengan menempelkan stiker ACEP [Approved Continuous Examination Program] yang sudah di-approved dan diverifikasi.
“Kami menjamin peti kemas kami telah memenuhi standard Organisasi Maritim Dunia (IMO) dan diverifikasi ulang oleh badan internasional asing setiap 5 tahun,” tagsnya.
Dhany juga menilai wajar terhadap peraturan Kemenhub mengenai verifikasi ulang terhadap petikemas, karena untuk keselamatan pelayaran. “Cuma masalahnya siapa yang akan membayar untuk itu,” tanyanya.
Sebelumnya, Dirjen Hubla Agus Purnomo kepada pers menyatakan, bahwa Juknis dan Juklak PM 53/2018 setidaknya pada November sudah diumumkan. “Untuk tahap awal verifikasi ulang terhadap petikemas sesuai PM 53 akan fokus pada petikemas luar negeri, karena kalau petikemas dalam negeri lebih mudah pengawasannya,” katanya usai membuka FGD soal PM 53/2018 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahi bahwa Ginsi sudah pernah menyatakan jika pihaknya (importir) tidak mau membayar terhadap beban biaya yang muncul atas verifikasi ulang petikemas sesuai PM 53. (wan/**)