Indonesian National Shipowners Association (INSA) menyoroti pengenaan tarif jasa barang dan tarif progresif di pelabuhan yang tidak sesuai dengan praktek internasional dan tidak memiliki dasar kesepakatan antara pelayaran dan operator pelabuhan.
“Pelayaran harus menanggung lebih dulu beban biaya tarif jasa barang untuk selanjutnya pihak pelayaran yang menagih kepada consignee ataupun shipper. Hal ini tentunya memberatkan operator pelayaran karena mengeluarkan biaya lebih besar di awal dan tidak lazim dalam praktek bisnis di dunia pelayaran internasional,” kata Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto, dalam siaran persnya, kamis (11/10).
Menurut Carmelita, pada tarif progresif yang dinilainya memberatkan pelayaran karena penerapannya tanpa berdasarkan service level agreement (SLA) atau service level guarantee (SLG) antara pelayaran dan operator pelabuhan. Kesepakatan SLA atau SLG dibuat dengan menimbang perfomance pelabuhan dan pelayaran.
“Namun pada praktek di lapangan, operator pelabuhan mengenakaannya kepada pelayaran. Alasannya, operator pelabuhan kerap memakan waktu yang lama untuk menerima pembayaran tarif jasa barang dari consignee ataupun shipper,” ucapnya.
Carmelita menilai, kalau lambatnya produktivitas pelabuhan disebabkan karena kinerja operator pelabuhan, maka tarif progresif tidak bisa dibebankan kepada pelayaran. Namun, jika keterlambatan disebabkan pihak pelayaran tentunya tarif progresif menjadi beban pelayaran.
“Untuk itu, penerapan tarif progresif di pelabuhan tanpa adanya kesepakatan SLA atau SLG sulit diterapkan dan merugikan pelayaran. Kalau tidak ada SLA atau SLG, maka tarif tersebut sulit diterapkan,” ujarnya.
Carmelita juga menjelaskan, untuk investasi di sektor pelayaran nasional sebenarnya mengalami tren positif sejak diterapkannya asas cabotage pada 2005, yang tentunya berdampak pada industri terkait lainnya seperti galangan, asuransi, hingga sekolah pelaut.
Menanggapi melemahnya rupiah atas Dolar AS, Carmelita mengungkapkan, untuk kondisi saat ini, fluktuasi nilai tukar rupiah yang telah mencapai sekitar Rp 15.000 per dolar Amerika, tentunya berdampak signifikan terhadap iklim investasi pada semua lini bisnis, tidak hanya pada industri sektor pelayaran saja.
Salah satu dampak yang dirasakan dari melemahnya nilai tukar rupiah oleh industri pelayaran adalah penaikan harga sejumlah komponen untuk pembangunan atau reparasi kapal, yang memang masih didominasi komponen impor.
“Komponen kapal mayoritas masih impor dan harus dibeli dengan dolar. Makanya,
industri pelayaran dan juga banyak bisnis industri lainnya memilih untuk wait and see, menunggu kondisi stabil,” kata Carmelita. (ril/**)