Usaha pelayaran dituntut untuk bekerja keras di tahun 2016 mendatang jika ingin tetap eksis. Karena selain menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), juga persaingan di domestic sendiri yang semakin berat.
Biaya operasional kapal masih tinggi, sekitar 40 % dihabiskan untuk Bahan Bakar Minyak (BBM), belum lagi untuk kru kapal. Makanya usaha shipping dalam negeri masih belum mampu bersaing dengan kapal asing.
Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto dan Tokoh pelayaran Indonesia H. Sunarto menilai bahwa usaha pelayaran dalam negeri masih berat di tahun 2016 ini, apalagi pada era MEA.
Namun demikian, Carmelita tetap optimis kalau bisnis ini akan mampu menghadapi problemnya.
“Tidak semua sector angkutan pelayaran berat, sector container masih lumayan, offshore juga begitu, dan general kargo pun masih bagus,” ungkap Meme (panggilan Carmelita).
Melambatnya kondisi ekonomi global, kata Sunarto (bos PT Gurita Lintas Samudera) juga akan berpengaruh terhadap industri pelayaran nasional. Misalnya untuk angkutan batubara, saat ini hanya Negara India yang masih menerima batubara berkalori rendah. Di dalam negeri, sudah tidak lagi mau menerima, industry di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, sudah tidak mau menerima.
Tetapi, ungkap Sunarto, terhadap perusahaan pelayaran yang memiliki kontrak kerja dengan sejumlah industry masih tetap aman. Namun, bagi yang tidak mempunyai kontrak, tergantung pemerintah maunya pelayaran nasional ini akan dibawa kemana.
“Sebab kita masih ada ketergantungan dengan luar negeri. Makanya pemerintah harus bisa mengubah system perdagangan. Jadi untuk angkutan ekspor maupun impor yang dari dan ke Indonesia mesti diwajibkan menggunakan kapal berbendera Indonesia,” tutur Sunarto.
Menurut Sunarto, dengan tidak maunya Negara-negara yang selama ini menerima komoditi batubara, berimbas pada pelayaran nasional. Kapal-kapal, terutama tug barge menjadi banyak yang ‘nongkrong’ tidak memperoleh muatan, apalagi kargo yang diangkut berkurang banyak atau menyusut.
“Saya masih bersyukur 15 unit tug barge masih ada muatan, meski dengan ongkos angkut yang relative rendah. Tetapi, yang penting kapal-kapal yang kami operasikan tetap jalan,” ujar dia.
Sebagai ketua umum, Carmelita Hartoto yang memperoleh dukungan dari 38 DPC INSA seluruh Indonesia berharap supaya beyond cabotage dapat segera diterapkan. Sebab, dengan langkah itulah diharapkan dapat kembali menumbuh-kembangkan pelayaran nasional. “Kami akan terus mendorong pemberlakuan beyond cabotage, karena selain dapat menumbuhkan pelayaran dalam negeri, juga dapat memberikan devisa Negara dari angkutan luar negeri tersebut,” kata Meme.
INSA tegas Carmelita harus berada di garda terdepan dalam mengawal pelaksanaan asas cabotage dan beyond cabotage secara kritis dan konsisten, serta mendorong pemerintah dan jajarannya untuk memperbesar porsi angkutan kapal berbendera Merah Putih di sektor muatan ekspor dan impor yang kini belum terlaksana dengan baik.
Beban berat yang bakal dihadapi bisnis pelayaran, juga menjadi beban berat Carmelita Hartoto sebagai ketua umum INSA.
Kata Meme, bahwa Kita melihat keinginan Presiden Joko Widodo untuk memajukan dunia maritim nasional sangat besar. Menteri Perhubungan juga kita lihat memiliki keinginan kuat untuk menjadikan dunia pelayaran dapat bersaing dengan negara di kawasan. Karenanya, INSA akan menjadi mitra strategis sekaligus kritis terhadap pemerintah.
Berperan Penting
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, anggota INSA berperan penting dalam membantu pemerintah memangkas biaya logistik nasional.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani menuturkan, tingginya biaya logistik menjadi salah satu faktor yang membuat daya saing produk lokal kurang dapat bersaing di pasar internasional.
Saat ini tingkat keterisian barang dari wilayah barat ke timur bisa mencapai 90%. Namun kembalinya kapal dari timur ke barat load factor-nya hanya mencapai 30%.
“Ketimpangan ini yang menyebabkan ongkosnya mahal, biaya logistiknya mahal, tentunya peran INSA sangat dibutuhkan dalam hal ini,” ujar dia.
Rosan juga menuturkan, tantangan penurunan biaya logistik ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh INSA. Apalagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tengah mengalami penurunan, yakni dari 6% menjadi 4,67%.
Maka dari itu, dibutuhkan kerja sama dari seluruh anggota INSA, pemerintah, dan pihak-pihak lain untuk menurunkan biaya logistik nasional. Penggunaan kapal-kapal berbendera Indonesia juga mesti didorong agar biaya logistik makin murah. (ow)