Akibat diterbitkannya surat edaran (SE) Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) nomor UM.003/5/19/DOPL-17 tentang pengaturan penundaan pemberian persetujuan penggunaan sementara Terminal Khusus (Tersus) dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) untuk melayani kepentingan umum, para pemilik demarga dan PBM resah.
Adanya Surat Edaran dari Dirjen Hubla itu membuat Kantor Kesyahbandaran dan Kantor Satuan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Samarinda tidak lagi menerbitkan Rencana Kerja Bongkar Muat (RKBM). Padahal, tanpa RKBM, para PBM maupun pemilik terminal (dermaga), tidak bisa kerja. Terkecuali pihak PT Pelindo IV menerbitkan surat yang menyatakan bahwa dermaga yang dioperatori Pelindo itu tidak lagi mampu melayani bongkar muat batubara.
“Sekarang kegiatan bongar muat dipaksa menggunakan PBM PT Pelindo IV. Itu yang meresahkan kami, karena Pelindo terkesan memaksakan penggunaan PBM miliknya, dengan memanfaatkan kondisi terdesak yang dialami perusahaan batubara. Kami minta supaya surat edaran Dirjen Laut itu dicabut,,” kata Ketua Umum Asosiasi Terminal Mahakam (ATMa), M Hamzah kepada pers, kemarin.
Menurut Hamzah, sekarang ini pihaknya dibuat serba salah. Sebab tak bisa lagi melakukan bongkar muat batubara di dermaga Jl. Yos Sudarso. Sementara pihak Pelindo IV juga tidak mau mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa dermaganya tidak mampu melayani bongkar muat batubara. “Mereka mau buat pernyataan kalau kita mau bekerjasama dengan PBM milik Pelindo,” ungkap Hamzah.
Karena situasi dan kondisinya demikian, maka para PBM berunjuk rasa di Kantor Pelindo IV Samarinda. Tuntutannya supaya Pelindo tidak monopoli kegiatan di dermaga.
Padahal, Menko Maritim Luhut B. Panjaitan sudah pernah mengingatkan kepada Pelindo agar tidak monopoli di pelabuhan. “Jangan semua Pelindo kerjakan, muntah nanti. Kasih kesempatan swasta untuk dapat juga bekerja,” kata Luhut pada acara Forum INSA 2017 di Makassar, Februari lalu.
Karena kebijakan pemerintah terkadang dinilai tidak pro swasta, akhirnya kebijakan tersebut menimbulkan masalah dalam implementasinya. Misalnya peraturan Menhub no. 152 tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke kapal.
Peraturan ini dinilai sangat merugikan para PBM, sebab dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa BUP (Pelindo) yang sudah memperoleh konsesi, otomatis dapat melaksanakan kegiatan bongkar muat.
Oleh sebab itu, APBMI Jawa Timur berniat menggugat peraturan tersebut ke Mahkamah Agung, karena peraturan ini dianggapnya dapat mematikan usaha PBM. Dampaknya bisa menciptakan puluhan ribu orang menganggur, dan ratusan usaha PBM berguguran. (***)