Kelangkaan kontainer 40′ masih menjadi momok bagi para eksportir nasional. Akibatnya banyak ekspor produk Indonesia yang tertahan pengirimannya.
Kalau toh bisa terkirim, biaya angkutnya juga sangat mahal.
Menurut Kepala Cabang pelayaran internasional Yang Ming, Joko S, freight meroket naik hingga 5 kali lipat. “Itu karena Charter kapal saat ini juga sangat mahal, naik 3 kali lipat dari sebelumnya, dan minimal sewanya harus 2 tahun, makanya banyak yang wait and see,” katanya kepada Ocean Week, di Jakarta, Selasa sore (16/2/2021).
Apalagi, ujarnya, setelah adanya pandemi covid-19 ini, banyak perusahaan pelayaran yang menahan operasionalnya ke sejumlah negara. “Sudah hampir tiga bulan akibat covid, Yang Ming tak lagi masuk ke Tanjung Priok,” ungkapnya.
Padahal sebelumnya, pelayaran ini bisa sekitar 10 kapal per bulan masuk pelabuhan di Jakarta. Kata Joko, waktu masih normal, setiap Minggu per kapal bisa bongkar muat 2.000 box, di JICT atau dermaga Tangguh Samudera Jaya (TSJ), keduanya di Tanjung Priok.
Mengenai naiknya freight ini sudah terjadi sejak akhir tahun lalu, termasuk kelangkaan kontainer 40′.
Sidney Yu, Direktur Prime Success Enterprises Ltd. yang berbasis di Hong Kong mengatakan bahwa kontainer yang awalnya hanya memakan biaya US$2.000 untuk dikirim ke seluruh Pasifik, kini melonjak menjadi US$13.000 sebelum Tahun Baru Imlek pada pertengahan Februari ini.
Joko S juga menceritakan sebenarnya, banyak kontainer impor 40′ yang mengendap di Tanjung Priok karena bermasalah. “Apakah kontainer yang jumlahnya hampir seribuan itu tidak bisa dimanfaatkan, mungkin pemerintah bisa memberi keringanan kepada pemiliknya (pelayaran) untuk proses pengeluarannya, mungkin dibebaskan biaya penumpukannya atau bagaimana,” ujar Joko bertanya.
Sebab, ungkapnya, kontainer-kontainer yang sudah mengendap cukup lama tersebut sangat mahal ongkos pengeluarannya.
Dia mencontohkan, untuk mengeluarkan tiga kontainer milik Yang Ming yang sudah sekitar 1,5 tahun menumpuk di depo petikemas, pihaknya harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 300 juta.
“Kontainer kami satu di depo Airin selama 1 tahun kena biaya 109,247,030. Sedangkan yang dua kontainer di depo PT MTI sekitar 1 tahun lebih kena biaya penumpukan Rp 212.633.420. Nah apakah ini pemerintah tidak bisa memberi keringanan, karena kami pun dirugikan,” katanya lagi.
Joko mengungkapkan jika kontainer tersebut berisi sampah plastik. Kepada Ocean Week, Joko mengaku bahwa perusahaan sedang berupaya untuk mengeluarkan ketiga kontainernya tersebut, tetapi masih mengkalkulasi biayanya.
Sementara itu, pengamat kemaritiman dari ITS Surabaya RO. Saut Gurning membenarkan kalau saat ini freight naik signifikan. Dan hal itu tak terlepas dari pera MLO.
Namun anehnya, kata Theo Rinastowo (direktur pelayaran IFL), MLO justru minta turun untuk tarif feeder. Contoh, untuk rute Palembang ke Tanjung Priok, per kontainer MLO minta turun sekitar Rp 200 ribu. “Tapi ya itu, kita ngga bisa apa-apa, karena mereka yang mengatur,, apakah hal seperti ini pemerintah kita akan membiarkan terus,” kata Theo bertanya.
Saut Gurning mengungkapkan, di Eropa kendati dimonitor oleh komisi Eropa, fasilitas block-exemption yang diterapkan untuk mengizinkan respon aliansi, justru memperparah tingginya biaya angkutan laut dan berbagai tambahan lainnya yang menguntungkan Main Line Operator (MLO) atau operator kapal internaisonal.
“Hal itu sangat faktual merugikan kegiatan ekonomi atau perdagangan internasional bagi Indonesia. Lewat keterlambatan, deviasi, pembatalan kontrak perdagangan dan hilangnya potensi perdagangan ekspor nasional,” katanya.
Jadi, Theo kembali mempertanyakan apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ini, mengingat kondisi pelayaran sekarang sudah sangat berat.
Kemenhub Siapkan Langkah
Pandemi Covid-19 telah membawa dampak pada kinerja seluruh sektor perekonomian, tidak terkecuali industri pelayaran.
Biaya pengangkutan (freight) petikemas, atau biaya kargo, secara global telah naik tajam. Kenaikan biaya tersebut berpengaruh pada upaya perbaikan kinerja industri pelayaran dan perekonomian nasional.
“Dampaknya, hampir di semua negara harga sea freight dengan kontainer naik signifikan, waktu pelayaran lebih lama, terjadi penumpukan kontainer di pelabuhan, dan bongkar muat di pelabuhan pun lebih lama,” ujar Dirlala Capt. Antoni, kepada Ocean Week, Rabu pagi.
Menurut dia, Kementerian Perhubungan telah menyiapkan sejumlah langkah untuk membantu kesulitan yang dialami industri pelayaran.
“Pertama, kami akan mengawasi percepatan proses bongkar muat sehingga petikemas dapat segera didistribusikan dan kapal bisa berlayar kembali. Kedua, kami juga akan mempercepat petikemas segera keluar dari pelabuhan sehingga kontainer segera dapat kembali ke depo dengan cepat,” katanya.
Agar langkah tersebut lebih efektif, Kementerian Perhubungan berharap kementerian dan lembaga negara terkait, melakukan percepatan yang sama. “Kami himbau kementerian terkait bisa mendukung upaya yang dilakukan Kementerian Perhubungan, yaitu mempercepat proses pengeluaran long stay container di pelabuhan,” pintanya.
Adapun operator pelayaran jalur utama (main line operator – MLO) diharapkan, tetap dapat memberi ruang muat dari Indonesia, untuk tujuan ekspor. MLO diharapkan dapat menyediakan petikemas 40 High Cube.
“Berikutnya kami minta perusahaan pelayaran dalam negeri, khususnya yang tergabung dalam INSA, mengambil peluang utk memanfaatkan ruang muat pelayaran luar negeri yang berkurang. Kami juga menghimbau perusahaan eksportir melakukan subtitusi dgn memakai peti kemas 20 feet,” ungkapnya lagi.
Sebagai informasi, sejumlah negara telah menjalankan kebijakan penutupan (lockdown) lantaran pandemi, sejak awal tahun ini. Hal ini mengakibatkan terjadinya pembatasan pergerakan orang, barang, hingga pergerakan kapal. Tak sedikit perusahaan pelayaran yang mengurangi kegiatan kapalnya, untuk menekan biaya operasional dan menstabilkan ongkos pengangkutan.
Industri pelayaran global mulai menggeliat mulai Juli lalu, ketika China mulai menaikkan frekuensi ekspor. Hanya saja, aktivitas di China ini tak serta-merta memulihkan industri pelayaran global.
Pasalnya, pengiriman kontainer masih terbatas lantaran sejumlah negara masih menjalankan kebijakan penutupan (lockdown). Sumberdaya manusia untuk menjalankan aktivitas bongkar muat pun masih terbatas, sehingga keterlambatan dalam pengiriman dan pengumpulan kontainer pun terjadi. (**)