Pemerintah (Kementerian Perhubungan cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut) berencana menerapkan *Electronic Pilotage (E-Pilotage)* di perairan Indonesia, dan akan melakukan uji coba (test bed) di wilayah perairan Indonesia, khususnya di 4 (empat) stasiun Vessel Traffic Services (VTS) di Stasiun *VTS Batam, Tanjung Priok, Benoa dan Tarakan*.
APA ITU E-PILOTAGE ?
Alur pelayaran di dunia dan tata cara bernavigasi dilaut diatur oleh IMO lewat STCW, SOLAS, Collision Regulation ( Colregs 1972 ) dan IALA (buoyage system) untuk memenuhi aspek keselamatan pelayaran.
Pada area umum dimana kapal bebas bernavigasi, dunia pelayaran dilengkapi dengan peta laut, data kedalaman, jenis dasar laut, instalasi bawah laut dan tanda-tanda navigasi lainnya. Di daerah tertentu dipasang Sarana *Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP)* untuk memudahkan navigator mendapat referensi baringan benda darat *( Ilmu Pelayaran Datar )*.
Area yang sensitive dan ramai yang dianggap memerlukan tambahan data dan sarana, dilengkapi lagi dengan *Traffic Separation Scheme (TSS)* seperti di Selat Dover, Selat Singapura, dan di Indonesia ada di Selat Sunda dan Selat Lombok. Daerah ini tidak hanya secara permanen ditampilkan di peta, tetapi secara aktif negara pengelola TSS juga memonitor setiap pergerakan kapal secara live 24 jam sehari tanpa henti minimal dengan perangkat Radar, Radio, AIS, dan Guard vessel untuk melakukan intervensi langsung jika dibutuhkan.
Beberapa kapal, secara voluntary atau mandatory sesuai ukuran dan jenis kapal akan mengambil jasa Pilot untuk melewati area tersebut. Sudah pasti daerah ini dilengkapi pula oleh SBNP yang lebih spesifik karakteristiknya sebagai syarat tercapainya Safe Navigation.
Kehadiran Pilot/ pandu diatas kapal sudah terjadi ratusan tahun lalu, dan hampir semua memiliki basic sama : pandu/pilot memiliki pengetahuan tentang keadaan perairan/ pelabuhan setempat dengan sangat baik disamping pengetahuan bernavigasi, dan bermanuver diperairan sempit dan dangkal.
Selanjutnya pada area pelayaran disebuah pelabuhan yang ramai, pengelola juga melengkapi daerahnya dengan *Vessel Traffic System (VTS)*, fungsi dan kegunaannya kurang lebih sama dengan TSS hanya saja ini lebih spesifik mengarah ke sebuah pelabuhan tertentu. Misalnya Maas Approach di Rotterdam, German Bight Traffic menuju Sungai Elbe di Jerman, atau Wandelaar menuju Antwerpen di Belgia atau benerapa pelabuhan di Indonesia.
Kehadiran Pilot/ Pandu di area VTS sebagian besar bersifat Mandatori termasuk di Indonesia, seperti Karang Jamuang menuju Surabaya/ Gresik. Tentu selama bernavigasi di area tersebut, pandu yang sangat fasih wilayah pelayaran juga dibantu oleh VTS lewat controllernya. Tugas VTS controller memberikan informasi akurat dan update tentang lalu lintas pelayaran, adanya bahaya baru alur atau mengingatkan kapal tentang adanya kegiatan khusus di alur tersebut.
Walaupun pada area Mandatory Pilotage, pengelola biasanya memberikan *pengecualian* terhadap kapal-kapal yang regular mengunjungi daerah tersebut. Atau kapal lain yang secara ukuran ada dibawah GT dari wajib pandu.
Area seperti Maas Approach, Wandelaar, atau German Bight boleh dilayari oleh kapal Ferry, dan kapal yang memiliki Nakhoda/ Navigator yang memiliki pengetahuan lokal sama baiknya dengan pilot/ pandu lokal. Biasanya selain jumlah visit minimum dalam setahun, mereka juga diuji oleh pejabat setempat untuk mendapatkan Pilot exemption Certificate, *tentu kapal tidak harus membayar biaya pilot jika melakukannya sendiri*.
Lalu apakah e-Pilotage berarti peran Pilot akan digantikan oleh VTS controller ? Jawabnya adalah *TIDAK BISA*. Selain perbedaan nyata peran dan kualifikasi Pilot dengan VTS controller, harus diingat bahwa ketika pandu memberikan advice, maka akan langsung didengar oleh navigator dan dilaksanakan. Sementara komunikasi antara VTS Controller dan kapal bergantung pada radio VHF yang bisa terinterupsi oleh pengguna lain, keadaan cuaca, perbedaan bahasa, dan banyak hal lain. Tentu payung hukum dan contoh implementasi di negara yang lebih maju dalam dunia pelayaran juga harus dijadikan acuan, yang sejauh ini belum ada kecuali kapal yang benar-benar Autonomous.
Kegiatan pemanduan (pilotage) adalah dimana SEORANG pilot memberi advice kepada SEORANG navigator, bukan kepada kapalnya. IMO sendiri men-formalkan kegiatan dan tugas pilot ditahun 1968, dengan resolusi nomor A.159(ES.IV) dan dituangkan dalam Chapter V SOLAS (A.426(XI), serta aturan2 lain yg terus dikembangkan.
Sementara untuk VTS, IMO memasukkannya kedalam resolusi A.578 (14) Guidelines for Vessel Traffic Services, setelah sebelumnya pada 1968 IMO membuat resolusi A.158 (ES.IV) soal VTS, yang juga kemudian di adopsi kedalam SOLAS Chaopter V, aturan 12 soal VTS.
Di Indonesia, selain pemerintah yang bertindak sebagai pengelola VTS, swasta (Oil Company) pun sudah beberapa yang memilki VTS demi sebuah kepentingan yang sama : *Keselamatan Pelayaran dan Perlindungan Lingkungan Maritim serta Perlindungan asset milik pengelola*. Bahwa pada akhirnya kegiatan Pilotage berbayar, itu adalah konsekuensi dan bukan tujuan.
Untuk menjadi VTS controller yang baik, maka dibutuhkan persaratan umum seperti ; Minimum Deck Officer ANT III (COC), pengalaman sebagai navigator diatas kapal, memiliki sertifikat ECDIS and RADAR/ ARPA, memiliki sertifikat General Radio Operator (GOC) and GMDSS dan sertifikat IALA V 103/1 & 103/2. Sementara untuk menjadi pilot, persyaratan akan jauh lebih tinggi lagi dengan sifat pekerjaan *MAN TO MAN MARKING alias 1 pilot 1 kapal. (Penulis Capt. Zaenal A. Hasibuan, adalah pengamat Kemariitman Nasional)