Bayangkan saja, per Mei 2017, pemerintah mencatat nilai utang sebesar Rp 3.672,33 triliun. Angka ini naik Rp 4,92 triliun dibanding bulan sebelumnya yang sebesar Rp 3.667,41 triliun. Ini juga naik Rp 201 triliun dibandingkan posisi Desember 2016.
Menkeu Sri Mulyani tetap menegaskan bahwa besaran utang pemerintah masih relatif terjaga. Angkanya masih di bawah 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. “Posisi Indonesia juga jauh lebih baik dari negara berkembang lain. Ada beberapa negara justru memiliki rasio utang terhadap PDB mencapai 100 sampai 200 persen,” ungkapnya.
Dari sisi defisit anggaran negara, Sri Mul menyatakan masih lebih baik ketimbang negara berkembang seperti Brazil, Meksiko dan Argentina, bahkan India sekalipun.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah berutang untuk menutup defisit belanja di APBN. “Ini dilakukan karena penerimaan negara belum optimal sehingga target tidak tercapai. Padahal program pembangunan sudah dicanangkan di APBN dan perlu dana untuk menjalankan. Kalau kurang pembiayaan, program pembangunan tersendat,” ucapnya.
Sri Mul juga mengatakan, pemerintah lebih berhati-hati lagi melakukan spending atau belanja. Kehati-hatian yang dimaksud adalah memastikan efisiensi belanja pemerintah dan mengatur kembali skala prioritas agar mengalir ke sektor produktif. Adapun jenis belanja ‘kritis’ yang mau tak mau terus diupayakan pemerintah yakni belanja untuk pendidikan, kesehatan dan belanja yang kaitannya untuk bantuan sosial.
“Itu semua tidak bisa ditunda. Jadi sedapat mungkin penerimaan pajak kita dapat memenuhi kebutuhan dasar itu. Kalaupun berutang sedapat mungkin untuk belanja modal dan menghasilkan produktivitas dan tingkat pengembalian bisa terbayarkan kembali. Ini masyarakat perlu tahu. Sehingga memahami dan melihat pilihannya kenapa dan untuk apa kita berutang, bagaimana mengelolanya. Jadi tidak menjadi cerita yang terlalu mengkhawatirkan bagi masyarakat,” tutur Sri Mulyani. (***)