Pengamat kemaritiman nasional Capt Zaenal A. Hasibuan menyatakan agar Indonesia bisa menjadikan Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai salah satu kekuatan ‘Merah Putih’ untuk bisa ‘cawe-cawe’ sekaligus kepentingan perekonomian negeri ini.
“Makanya harus ada pelabuhan besar di dekat Singapura yang dibangun Indonesia. Kalau kapal berlayar dari Eropa/ Timur Tengah, semua jalan disisi kanan (dekat Sumatera) karena aturan Traffic Separation Scheme. Maka keberadaan pelabuhan di sisi kanan (Kuala Tanjung, Batam, Tanjung Balai Karimun) akan sangat strategis,” ujar Capt. Zaenal kepada Ocean Week, melalui WhatsApp nya, Kamis pagi (24/10/2024).
Capt. Zaenal juga menyoroti aktivitas pemanduan di kedua selat tersebut. “Pemanduan Selat Malaka paling ramai dari Eropa/Timur Tengah ke Jepang/ Korea/China. Artinya kapal yang Berlayar dari Barat ke Timur. Masalahnya Pandu naiknya didepan Port Klang Kuala Lumpur di tempat bernama One Fathom Bank/Beting Sedepa yang merupakan wilayah Malaysia. Jika Indonesia menyediakan servis ini, harus mampu menyediakan pilot boarding ground sendiri di perairan Indonesia yang sebenarnya lebih memudahkan kapal-kapal yang mau pakai jasa mereka,” jelasnya panjang lebar.
Masalahnya, kata Zaenal, Pandu-pandu ini belum banyak. “Pemanduan ini akan semakin ramai seiring dengan majunya ekonomi China, tapi kita saat ini hampir tidak dapat apa-apa,” ujarnya lagi.
Seperti diketahui, Selat Malaka dan Selat Singapura menjadi salah satu jalur pelayaran yang sangat strategis. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terus berkomitmen mengemban aspek keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim, di kedua Selat itu.
Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, Budi Mantoro mengatakan Selat Malaka dan Selat Singapura dilalui oleh sekitar 35% kapal internasional yang mengangkut sepertiga dari komoditas perdagangan global sehingga membuat kedua Selat ini menjadi urat nadi yang menghubungkan perekonomian wilayah tersebut ke seluruh dunia.
Budi menyatakan bahwa volume lalu lintas yang melewati kedua Selat tersebut terus meningkat setiap tahunnya, mencapai 130.000 kapal per tahun.
“World Economic Forum bahkan memperkirakan Selat Malaka akan melewati kapasitasnya pada akhir dekade ini karena pesatnya pertumbuhan lalu lintas pelayaran di Selat tersebut. Belum lagi banyaknya kemacetan dan kecelakaan yang terjadi di kedua Selat tersebut bisa mengakibatkan gangguan dan hambatan bagi rantai pasokan global,” kata Budi dalam keterangannya, kemarin.
Kata Budi, aktivitas di kedua Selat itu berdampak tidak hanya kepada tiga negara Pantai, tapi juga terhadap perdagangan regional hingga ke perekonomian global.
Oleh karena itulah, Cooperative Mechanism dibentuk untuk menjalin dialog, pertukaran informasi dan berbagi perspektif tentang isu-isu penting yang berkaitan dengan Selat Malaka dan Selat Singapura.
Keselamatan & Perlindungan Lingkungan
Budi juga mengatakan bahwa keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim di Selat Malaka dan Selat Singapura menjadi perhatian utama dari komunitas maritim internasional, khususnya Negara Pantai. Oleh sebab itu, dengan dukungan dari International Maritime Organization (IMO), pada tahun 2007 tiga Negara Pantai membentuk Cooperative Mechanism sebagai wadah untuk mendiskusikan dan bertukar pandangan terkait isu yang menjadi perhatian bersama di kedua Selat.
Menurut Budi Mantoro, sebagai Anggota Dewan IMO, Indonesia memprioritaskan kerja sama dengan seluruh negara anggota IMO untuk memperkuat keselamatan dan keamanan pelayaran internasional.
Budi pun menyatakan jika pihaknya selalu berpegangan pada Konvensi dan Instrumen IMO dalam menentukan kebijakan dan peraturan di perairan Indonesia, khususnya yang berada di wilayah Selat Malaka dan Selat Singapura.
Dalam rangka komunikasi dan meningkatkan keselamatan pelayaran, Indonesia telah membentuk mekanisme Maritime Safety Information (MSI) untuk memenuhi kebutuhan penyampaian informasi mengenai navigasi dan keselamatan pelayaran, yang berbasis pada mekanisme sistem penyiaran dan optimalisasi e-navigasi melalui sistem aplikasi terpadu yang dikelola oleh Maritime Coordination Centre (MCC).
“Mekanisme ini didukung juga oleh implementasi sistem pelaporan kapal/Ship Reporting System (SRS) di Perairan Indonesia, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional dan internasional, untuk meningkatkan efisiensi navigasi, keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim,” kata Budi.
Selain itu, Indonesia juga telah berhasil meningkatkan fungsi dan kapasitas sarana, prasarana, peralatan navigasi seperti GMDSS, AIS, VTS, dan Aids to Navigation serta sistem pengaturan rute kapal yang ditetapkan pada wilayah penting dan kritis di perairan Indonesia guna menjamin keselamatan navigasi, keamanan maritim, dan perlindungan lingkungan laut sebagaimana diatur dalam peraturan IMO.
Budi menyampaikan tentang keberhasilan Indonesia dalam menetapkan Kepulauan Nusa Penida dan Gili Matra sebagai Particularly Sensitive Sea Area (PSSA), yang telah disetujui pada Sidang Marine Environmental Protection Committee (MEPC) ke-82 pada awal bulan Oktober 2024.
PSSA tersebut, terletak di dalam Traffic Separation Scheme (TSS) Selat Lombok, yang berfungsi sebagai Associated Protective Measures-nya.
“Dengan ditetapkannya Pulau Nusa Penida dan Gili Matra sebagai PSSA, Indonesia menjadi negara ke-19 yang menetapkan PSSA dan negara Asia kedua setelah Filipina yang memiliki PSSA yang ditetapkan oleh IMO. Kita berharap juga hal ini dapat membuka peluang penetapan PSSA di wilayah-wilayah lain di Indonesia yang juga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati, kondisi ekologi, dan sosial-ekonomi yang sama, serta rentan terhadap dampak kegiatan pelayaran internasional,” ungkap Budi Mantoro. (***)