Muka Indonesia lagi-lagi kena tamper dunia internasiol karena arogansi Badan Keamanan Laut (Bakamla) di laut.
Komentar itu meluncur dari pengamat militer dan kemaritiman Laksamana (Purn) Soleman B. Ponto, yang disampaikan kepada Ocean Week, di Jakarta, Jumat malam (15/1/2021), mengenai pencegatan Bakamla terhadap Kapal China di Selat Sunda pada Rabu (13/1) lalu.
Ponto menilai, apa yang dilakukan Bakamla dengan mengusir kapal survei/research vessel Xiang Yang Hong 03 berbendera China yang sedang berlayar di Selat Sunda adalah salah satu bentuk arogansi Bakamla.
Menurut Ponto, mengutip keterangan Kabag Humas dan Protokol Bakamla Kolonel Wisnu Pramandita, pencegatan itu bermula saat Pusat Komando dan Pengendalian (Puskodal) Bakamla melaporkan keberadaan kapal mencurigakan yang sedang berlayar di wilayah Selat Sunda.
Kapal itu diketahui sebagai kapal survei/research vessel Xiang Yang Hong 03 berbendera China, melaju dengan kecepatan 10,9 Knots dan tengah menuju ke Barat Laut. Dan konon berdasarkan pantauan Bakamla, kapal tersebut mematikan automatic identification system (AIS) sebanyak tiga kali.
Padahal, kalau menurut Kolonel Wisnu, AIS merupakan sistem lacak otomatis yang memberikan data tentang kapal mulai dari posisi, waktu, haluan dan kecepatan. Sistem ini mirip dengan Flightradar24 dalam transportasi udara. Dan ketika kapal lokal maupun asing yang berlayar di wilayah Indonesia wajib mengaktifkan AIS, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis.
Jika tak menghidupkan AIS bisa dikenai sanksi, itu diatur pada ayat 2 pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis yang berbunyi Kapal Asing yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi sesuai ketentuan Tokyo MOU dan perubahannya.
“Padahal ketentuan Tokyo MoU itu sangsinya adalah sangsi administratif yang dicatat oleh PSC (Port State Control). Dan di Indonesia yang menjadi PSC adalah KPLP, bukan Bakamla,” ungkap Ponto.
Selain itu, ujar Ponto, dalam PM itu tidak menyebutkan adanya kewengan Bakamla dalam menegakan aturan itu.
“Jadi, pengusiran kapal survei/research vessel Xiang Yang Hong 03 berbendera China, oleh Bakamla bertentangan dengan PM 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis,” tegas Ponto.
Sekali lagi Ponto menilai bahwa apa yang dilakukan Bakamla semakin memperlihatkan arogansi ala cowboy karena tidak menghormati hukum yang berlaku. Hal ini justru semakin memperlihatkan kemampuan Bakamla yang sebenarnya, bahwa mereka betul-betul tidak menguasai aturan perundangan yang berlaku di laut.
“Bakamla hanya memiliki sifat arogansi yang selalu dipertotonkan kepada siapa saja dilaut. Ya memang wajar saja, karena Bakamla tidak dilahirkan sebagai organisasi penegak hukum tapi sebagai organisasi yang tidak jelas statusnya, militer bukan sipil pun tidak, penegak hukum tidak, penegak kedaulatan juga bukan,” jelas Ponto panjang lebar.
Bahkan, kata Ponto, perintah Presiden untuk melakukan Transformasi Bakamla menjadi Indonesia and Sea Coast Guard belum juga dilakukan. “Lalu sampai kapan hal ini dibiarkan?. Untuk apa memelihara Bakamla yang hanya memiliki sifat arogansi itu?,” tanyanya.
Karena ulah Bakamla tersebut, ucap Ponto, perairan Indonesia masuk dalam kategori ‘high risk water’ dan mengakibatkan asuransi barang yang diangkut lewat perairan Indonesia menjadi tinggi.
“Akibatnya harga bawangpun menjadi mahal. Dengan demikian produski barang atau kapal-kapal berbendera Indonesia akan sulit bersaing karena mahalnya asuransi,” tukasnya.
Dengan demikian investasi yang dilakukan oleh Kementrian Maritim dan Investasi juga terancam gagal, karena harga jasa angkut lewat laut Indonesia yang pasti akan mahal.
Oleh karena itu, tegas Ponto, untuk kepentingan rakyat banyak, apalagi ini merupakan perintah Presiden, maka transformasi Bakamla untuk menjadi Indonesia Sea and Coast Guard harus segera dilakukan. (***)