Program tol laut mulai dievaluasi oleh pemerintah (kemhub-red), karena beberapa rute dinilai tak efektif. Bahkan DPR RI sudah menyuarakan supaya kapal pengangkut sapi dari NTB ke Priok sebagai salah satu proyek tol laut dihentikan saja.
Sementara itu, di sejumlah daerah, justru sedang berlomba mengembangkan pelabuhan sebagai konektivity jalur tol laut, namun hal itu terkesan eforia. Sebab, pelabuhan-pelabuhan tersebut akhirnya ‘mangkrak’.
Kata Asmari Herry, direktur PT Samudera Indonesia Shipping, agar tol laut bisa dijalankan dengan efektif perlu pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur. Bukan saja pelabuhan, akses road, kapal dan segala penunjangnya, tetapi penting pula dibangun sentra-sentra produksi dan sentra-sentra ekonomi sehingga rute pelayaran teratur, pelabuhan bagus, kapal besar dapat memuat dan atau mengangkut jumlah muatan yang cukup dari dua sisi arah, sehingga objective untuk menurunkan logistic cost bisa tercapai.
“Kami memahami bahwa laut adalah tol bagi kapal-kapal berbendera Merah Putih sehingga apapun alasannya, pemaksimalan laut sebagai jalan bebas hambatan bagi moda transportasi angkutan di perairan pada aktivitas pengiriman barang jauh lebih efisien dibandingkan dengan moda lainnya,” ungkap Asmari yang juga sebagai Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Perhubungan kepada Ocean Week di Jakarta.
Menurut mantan Wakil Ketua Umum DPP INSA tersebut, selama ini, aktivitas pengiriman barang lebih banyak bertumpu kepada moda transportasi darat dengan menggunakan jalan raya sebagai moda utama. “Oleh karena itu, kita melihat bahwa Tol Laut dalam perspektif logistik memiliki esensi memindahkan Beban Transportasi Darat ke Moda Transportasi Laut melalui Berbagai Program guna menurunkan biaya logistic,” ujarnya.
Dengan demikian, gagasan tol laut tidak hanya sekedar membicarakan masalah pelayanan angkutan laut untuk satu trayek tertentu dari wilayah barat ke wilayah tengah dan timur dengan menggunakan kapal dengan ukuran relative besar 3.000-an, tapi juga harus memikirkan rantai pasok serta distribusi dari barang muatan yang akan diangkut melalui angkutan laut tadi dan tentu saja harus juga memperhatikan kondisi dan kapasitas pelabuhan yang akan disinggahi beserta fasilitas serta akses jalannya.
Penggunaan ukuran kapal yang relative besar seyogyanya disesuikan dan mengikuti kebutuhan pertumbuhan barang/muatan (ship follow the trade). Jika pemahaman terhadap konsep Tol Laut ini direduksi hanya sekedar ukuran kapal yang relative besar dan pelabuhan laut dalam tanpa memperhatikan rantai pasok distribusi barang serta potensi barang muatannya (skala ekonomi) maka essensi dari konsep tol untuk menurunkan biaya logistic Nasional sulit akan dicapai.
Karena, kata Asmari, penggunaan kapal ukuran besar dengan tidak diimbangi oleh jumlah muatan yang cukup justru akan mengurangi efficiency, sebaliknya akan meningkatkan biaya ongkos angkut. Belum lagi kalau produktifitas serta tariff pelabuhan di seluruh jalur TOL Laut tidak sama antara satu sama lainnnya.
“Saat ini banyak versi pemahaman mengenai program Tol laut, untuk itu kita harapkan pemerintah dapat memberikan kesamaan persepsi apa yang dimaksud TOL Laut, Poros Maritim dalam tingkat pelaksanaan, sehingga kami sebagai pelaku usaha dapat focus dan ikut mensukseskan program tersebut agar objective dari program ini untuk mencapai cost logistic yang terjangkau dan kompetitif bisa terlaksana dalam waktu yang tak terlalu lama,” ungkapnya. (ow/rid)