Kelangkaan kontainer saat ini yang dihadapi berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, menjadikan para eksportir di negeri ini kesulitan untuk mengirimkan barangnya ke negara tujuan.
Apa penyebab dari kelangkaan itu, dan bagaimana strategi, serta solusinya yang mesti dilakukan pemerintah maupun swasta terkait untuk masalah ini, Ocean Week berkesempatan mewawancarai Prof. Raja Oloan Saut Gurning, pengamat kemaritiman dari ITS Surabaya, berikut petikannya.
OW : Apa Kabar Prof. Gurning ?
SG : Baik, dan moga diberi kesehatan selalu.
OW : Saat ini para pengusaha (eksportir) banyak membicarakan kelangkaan kontainer, sehingga berakibat freight kapal naik, komentar bapak ?
SG : Kenaikan freight global dipicu oleh meningkatnya permintaan angkutan kontainer di tengah ketersediaan angkutan kontainer global yang terbatas akibat pandemik. Kenaikan itu juga dibarengi dengan tingkat ketersediaan kontainer yang juga menambah ekhalasi ketidakseimbangan.
OW : Maksudnya ?
SG : Bila periode April-Nopember menjadi rujukan perbandingan maka ada kenaikan biaya pengapalan kontainer baik untuk jalur Shanghai-Eropa dan ke Asia Tenggara sekitar 200 persen dalam delapan bulan belakangan ini. Termasuk kuantitas permintaan angkutan kontainer ke US juga sekitar 250 persen dari sekitar 0.8 Juta meningkat sekitar 1,8 Juta TEUs. Drewry melaporkan adanya kenaikan indeks container global (freight) hampir dua hingga tiga kalinya. Walau juga secara domestic hingga 10-15 kalinya.
OW : Apa yang kemudian terjadi ?
SG : Naiknya freight ini idealnya menguntungkan perusahaan pelayaran nasional. Namun yang terjadi justru memukul potensi ekspor komoditas Indonesia (karena tingginya freight harga komoditas ekspor tinggi). Dan yang terjadi malah dinikmati pelaku pelayaran asing.
OW : Jadi penyebab kelangkaan kontainer ini, apa ?
SG : Prinsip Kelangkaan Kontainer karena ketidakseimbangan perdagangan lewat laut (dimana volume eksportasi lebih besar dari importasi). Juga disebabkan kurangnya ketersediaan kontainer (wilayah tertentu untuk kegiatan domestik dan internasional).
OW : Selain itu ?
SG : Ya karena disrupsi akibat pandemic (masih tertahannya kontainer di darat termasuk di pelabuhan serta berkurangnya armada kapal kontainer dunia). Selain itu akibat melambungnya permintaan jalur Trans-Pacific khususnya dari China ke USA, Amerika Latin dan juga ke Eropa. Lalu proses re-stocking dari berbagai kebutuhan inventori akibat berbagai kebutuhan akhir tahun. Preferensi berbagai pelaku main line operator (MLO) memilih masuk ke jalur Asia-USA dan Asia-Eropa ketimbang jalur intra Asia.
OW : Bagaimana dengan China ?
SG : Kondisi ketersediaan kontainer di China. Pada minggu ke-51, terjadi penurunan ketersediaan kontainer, berdasarkan indeks ketersediaan kontainer (CAx) di tahun 2019 dan 2019 baik di Shanghai dan Qingdao dari sekitar 0,2-0,3 turun sekitar 0.01-0.05 khususnya untuk kontainer 40 ft HC. Sedangkan di Eropa, pada minggu ke-51, terjadi penurunan ketersediaan kontainer, khususnya di Durban (UK), dan Hamburg (Jerman), keduanya dengan CAx berada sekitar 0.05 sedangkan di Rotterdam (Belanda) dan Genoa (Italia) mengalami stagnasi di angka 0.12 untuk kontainer 40 Ft HC.
OW : Bagaimana dengan Singapura dan Malaysia ?
SG : Untuk Singapura dan Malaysia, pada minggu ke-51, terjadi penurunan ketersediaan kontainer di Asia Tenggara, khususnya di Singapura dan Port Klang keduanya dengan CAx berada antara 0.23-0.35 untuk kontainer 40 Ft HC.
OW : Dampaknya untuk Indonesia ?
SG : Bagi Indonesia, pada September – Desember 2020, dampaknya terjadi kenaikan freight pelayaran antara 400%-600% khususnya pada tujuan Eropa maupun Asia. Dari Indonesia ke Asia tadinya sekitar 150-180 USD menjadi sekitar 800-1050 USD. Sedangkan ke Eropa dari 700-800 USD menjadi 3400-3500 USD. Lalu, potensi ekspor Indonesia menjadi terganggu hingga terhambat. Baik karena delay (menunggu pulihnya harga freight maupun ketersediaan kontainer) hingga tidak berlanjutnya kontrak.
OW : Apa lagi akibat dari itu ?
SG : Ketergantungan atas armada MLO asing menjadi sangat tinggi. Karena praktis tidak ada armada kontainer nasional yang beroperasi di jalur Intra Asia, apalagi ke Eropa dan Amerka. Karena besaran armada kontainer nasional di bawah 3500 TEUs. Sementara jalur kuat ini berada pada kisaran 4500-8500 TEUs. Kemudian, ketergantungan pada Singapura dan Klang Malaysia menjadi tinggi walau tingkat CAx disana saat ini juga rendah (di bawah 0.5) ditambah waktu tunggu (congestion) dalam rentang 4-7 hari. Lemahnya perdagangan internasional Indonesia khususnya dalam periode satu semester mendatang, ketergantungan kita sangat tinggi dan merugikan Indonesia jika tidak ada usaha serius menanganinya, karena dampak turunan lainnya akibat mandeknya arus eksporasi Indonesia.
OW : Khusus imbas Indonesia, bagaimana ?
SG : ada 4 tipe kontainer yang terkena imbas kelangkaan yakni 20 ft Dry Cargo (DC), 40 ft DC, 40 ft Dry Van (DV), dan 40 ft High Cube (HC). Secara umum ketersedian tipe ini masih dapat diberikan kepada pelanggan, dengan catatan beberapa pelayaran mempunyai ketersedian yang terbatas. Khususnya di Priok, Perak, Tanjung Emas, Belawan & Panjang. Untuk tipe kontainer ini bisa dipastikan terjadi kelangkaan di semua pelayaran internasional. Secara umum kondisi ketersediaan kontainer di sejumlah pelabuhan utama (Priok, Perak, Belawan, Tanjung Emas dan Panjang) dapat dinilai rendah hingga langka (diperkirakan kalau setara dengan Container Availability Index, Cax antara 0,2-0,3. Khususnya untuk berbagai kontainer 40 ft (DC, DV, DC) berbagai kontainer 20 ft DC.
OW : Respondan jalan keluar terhadap kelangkaan ini ?
SG : Yah..Prinsipal berusaha memenuhi kebutuhan dengan kontainer kosong, Reposisi kontainer dari Singapura, Reposisi kontainer dari Priok, Perak, Belawan, lalu mendorong impor untuk kompensasi ekspor, berkolaborasi sharing container (slot), kolaborasi rute. Dan ini dilakukan MLO seperti MSC, Maersk, CMA, Cosco, CME, One, OOCL, HPL, YML, Zim dan HMM.
OW : Respon negara atas kelangkaan kontainer ini ?
SG : Ada banyak respon untuk ini, misalnya, pemerintah India menyadari kondisi naiknya freight dan menurunnya tingkat ketersediaan kontainer membahayakan potensi ekspor India guna mendukung proses pemulihan akibat pandemic covid-19. Setelah melakukan penilaian, pemerintah India mewajibkan seluruh operator MLO India menyediakan 100.000 unit kontainer per minggu guna mendukung kebutuhan kontainer minimal negara itu. Sedangkan pemerintah Vietnam memintah shippers/consignees bekerjasama dengan operator depo kontainer dalam mengkonsolidasi kebutuhan kontainer di seluruh negeri serta menjamin pemenuhan kontainer kosong dari kegiatan impor khususnya dari China dan negara lainnya. Untuk pemerintah Korea Selatan, menginstruksikan pelaku pelayaran internasional berbendera Korsel untuk bekerjasama dengan MLO untuk merasionalisasi harga freight dan ketersediaan kontainer guna melindungi kepentingan eksportir lokal Korsel. Pemerintah Taiwan, menegur operator pelayaran dalam negeri dan internasional untuk tidak memanfaatkan situasi kenaikan freight dan kelangkaan kontainer untuk tujuan korporasi semata.
OW : Bagaimana dengan Thailand ?
SG : Untuk pemerintah Thailand cukup aktif, karena menyadari dampak kelangkaan kontainer dan kenaikan harga pelayaran menghambat ekspor Thailand. Selain itu berpotensi memukul ekonomi dan kondisi balik bisnis dan usaha di Thailand. Mereka juga melakukan subsidi biaya importasi sekitar 1600 Baht per kontainer dan berlaku di pertengahan Desember 2020 hingga enam bulan ke depan. Lalu mendorong kapal berdimensi besar di atas 15K TEUs ke Laem Chabang, serta mengeksplorasi Potensi Curah kering.
OW : Apa rekomendasi untuk ini ?
SG : Ada sejumlah rekomendasi, misalnya jangka pendeknya dengan pengaturan dan antisipasi atas potensi dampak negative bagi ekspor dan perdagangan nasional atas menaiknya freight pelayaran dan kelangkaan kontainer. Untuk jangka menengah 1-6 bulan mendatang, mungkin menjadi keharusan bagi Indonesia untuk memiiliki satu unit usaha pelayaran (ocean-liner) global berbendera Indonesia seperti Garuda (air carrier) untuk mendukung kepentingan Indonesia dalam kegiatan perdagangan luar negeri. Untuk jangka panjangnya, dengan mempertahankan prinsip cabotage nasional guna menjaga kepentingan perairan nasional dan pelaku ekonomi maritim nasional. Kekuatan SDM, armada, dan komoditas serta budaya maritim Indonesia yang kuat perlu menjadi modal pengembangan kemaritiman Indonesia mendatang. Ekonomi maritime nasional Indonesia perlu ditopang Armada pelayaran armada internasional merah-putih. Guna membela kepentingan perdagangan nasional dan memangkas deficit neraca jasa dan pembayaran kita.
OW : Yakin bisa ?
SG : Harus optimis, sebab dengan armada internasional merah putih diharapkan merasionalisasi potensi perdagangan internasionalisasi kita (baik ekspor & impor) yang selama ini membuat ketidakseimbangan aliran barang termasuk kontainer; tingginya neraca pembayaran jasa ke luar negeri; serta lemahnya pengembangan industri maritime Indonesia secara internasional.
OW : Adakah yang seharusnya dilakukan oleh kita ?
SG : Masih banyak, dan ini juga perlu dipikirkan yakni usaha bertransformasi dari red ocean ke blue ocean strategi kolaborasi menangani kontainer shortages. Red Ocean Strategy, bagaimana bersaing di pasar eksis antara shipping companies, FF, TO dan shippers/consignees, kalahkan kompetitor, eksploitasi entitas permintaan eksis. Sedangkan Blue Ocean Strategy bagaimana menciptakan ruang pasar kontainer dan ketersediaan kontainer, pro pada kerjasama, koordinasi dan kolaborasi antara shipping, FF, TO, ICD, shippers & consignees, serta kreasi dan tangkap permintaan baru bersama.
OW : Terima kasih Prof. Saut Gurning atas kesempatan waktunya ?
SG : Sama-sama Pak, semoga ini akan memberi manfaat bagi kita semua, dan terima kasih. (***)