Saat ini, Pemerintah Sri Lanka tengah dilanda kesulitan membayar pinjaman luar negeri akibat pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukannya. Negara ini memiliki utang luar negeri mencapai US$ 58,3 miliar dan 95,4% dari seluruh pendapatan negaranya dipergunakan untuk membayar utang. Jadi, setiap US$ 1.000 pendapatan negara, hanya US$ 4,6 saja yang dapat dipergunakan untuk membiayai pendidikan dan pelayanan kepada masyarakat.
Menurut harian Colombo’s Sunday Times, salah satu solusi yang mungkin ditempuh yakni menawarkan debt for equity swaps kepada pihak China (menukar utang menjadi aset kepada pihak China). Untuk ini, Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe sudah mengajukan proposal kepada Duta Besar China untuk Srilanka, Yi Xianliang terkait rencana tersebut.
Pihak China ditawarkan hak pengelolaan atas sejumlah infrastruktur terbesar yang ada di Sri Lanka termasuk Mattala International Airport dan porsi pengelolaan Hambatota deep sea port sebagai ganti atas pembayaran utang oleh Sri Lanka.
Namun, Duta Besar China untuk Sri Lanka Yi Xianliang menyatakan tidak tertarik dengan itu, karena hal itu tidak dimungkinkan menurut hukum di China.
Bila Pemerintah China tidak menyetujui penawaran debt equity swap tersebut, mereka bisa mengerahkan perusahaan China untuk mengambil alih proyek-proyek yang ada di Sri Lanka.
Perusahaan teknologi dan informasi China IZP, telah mengambil langkah maju dengan mengajukan diri sebagai pembeli potensial atas Mattala International Airport.
Namun demikian, kata Ranil, hal itu bukan perkara mudah. Sebab, baik Sri Lanka maupun para investor, banyak proyek-proyek besar akan menghabiskan uang dengan sangat cepat sehingga dipertanyakan apakah dapat menciptakan ekonomi yang berkelanjutan.
Keraguan tersebut cukup beralasan. Karena, Mattala International Airport saat ini hanya melayani dua penerbangan per hari. Artinya bandara ini dapat disebut sebagai air port paling sepi diseluruh dunia.
Sedangkan Pelabuhan Hambantota memiliki keterbatasan pelayanan karena jalan raya dari dan ke pelabuhan nyaris tak ada kendaraan lewat.
Tetapi, meskipun Pemerintah China menolak penawaran debt for equity swap, partisipasi China pada pengembangan infrastruktur di Sri Lanka masih tetap ada.
Misalnya untuk Colombo Port City, baru saja pihak China mengajukan pembebasan 15.000 hektar tanah di Hambantota untuk membangun sebuah kawasan ekonomi raksasa yang bisa menyerap jutaan tenaga kerja disana. Dan ini sejalan dengan rencana Sri Lanka yakni untuk kawasan Hambantota. (***)