Menteri Perhubungan sebaiknya tidak terburu-buru dalam mengambil kebijakan mengenai program tol laut, perlu fisibility study yang matang, sehingga setelah diputuskan dan dilaksanakan tidak keliru. Misalnya untuk proyek tol laut trayek Tanjung Priok – Tanjung Perak Surabaya menggungkan kapal Ro-Ro.
Apakah rencana itu sudah benar-benar melalui penelitian yang serius. Sebab mesti diingat, sejauh mana kesiapan fasilitas penunjangnya, misalnya pelabuhannya, kapalnya, pemainnya, system dan muatannya, termasuk total biayanya.
Perlu diketahui bahwa dulu, trayek Jakarta – Surabaya menggunakan Ro-Ro sudah pernah ada, namun tak berlangsung lama, karena pelayaran merugi. Seharusnya, pengalaman ini dapat dijadikan sebagai materi evaluasi. Jangan hanya mendahulukan pencitraan.
Beberapa tokoh pelayaran pun mengaku pesimistis dengan rencana Menhub yang akan dilaksanakan pada April 2017 mendatang. Mereka mencontohkan, dengan menggunakan Ro-Ro paling sekali angkut hanya sekitar 100 truk barang yang terangkut. Lalu truk-truk itu sebelum pengapalan akan disuruh menunggu dimana, karena kita semua tahu bahwa pelabuhan Priok sudah krodit, apalagi jika dermaganya menggunakan ex Presiden.
“Kemudian, apakah total ongkosnya pun sudah dihitung jika dibandingkan lewat darat pasti lebih murah. Sebab pengusaha pasti punya pilihan mana yang lebih murah lebih cepat akan dipilihnya,” kata mereka.
Lagi pula setiap hari ada berapa kapal yang pulang balik untuk trayek baru ini. Bukankah semala ini juga ada moda kereta api yang mengangkut barang Jakarta – Surabaya, dan waktunya lebih pasti.
Selain itu, bagaimana pula dengan kesiapan di pelabuhan Surabaya. Mengingat, pelabuhan disana juga tak kalah padatnya. Jika harus ditambah lagi dengan kegiatan ini, apakah justru tidak menimbulkan masalah baru.
Memang, dari sisi pengurangan kepadatan di jalan raya, dapat berkurang, termasuk juga bisa meminimalisir kerusakan jalan raya, tetapi benarkah demikian adanya.
Karena, jangan hanya membuat program baru namun akan memunculkan problem baru, dan itu akan menjadi beban di tataran pelaksanaan. Menhub semestinya jangan asal menggulirkan programnya saja, namun sekali lagi mesti dihitung kelangsungannya.
Sebagai contoh, untuk proyek tol laut yang konon dapat menekan disparitas harga. Tetapi, ternyata, kata ALFI di Papua & NTT, harga barang tetap saja mahal. Meski pelayaran sudah menurunkan ongkos angkut hingga 30%.
Kalau proyek Ro-Ro Jakarta – Surabaya harus diberikan subsidi, seberapa lama sudsidi itu akan terus diberikan. Banyak sekali contoh ketidak berhasilan gagasan pemerintah dalam kegiatan seperti ini, baik untuk angkutan domestic maupun regional/internasional.
Dulu, sekitar tahun 1996, proyek ekspor langsung Cirebon – Singapura oleh kapal Djakarta Lloyd gagal. Kegiatan itu hanya berlangsung di ceremony saja, kemudian tak berkelanjutan. Kenapa demikian, mungkin karena terburu-buru tadi, dan hanya mengutamakan pencitraan, atau candaan ‘warung kopinya’ yang penting asal sudah dilaksanakan, dan sudah dianggap sebagai prestasi, hanya itu saja.
Kegagalan pun terjadi untuk Ro-Ro Kendal – Kumai. Mengingat ketidak-seimbangan muatan, meski menggunakan kapal ASDP, tetapi tak kuat juga. Menhub, jangan hanya mencontoh trayek Jakarta – Lampung yang sementara dinilai dapat berjalan.
Makanya, jangan sampai kejadian-kejadian seperti tersebut itu tak terulang lagi di era pemerintahan kerja, kerja dan kerja ini. (***)