Gara-gara limbah kapal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberi nilai rapor ‘Merah’ terhadap pelabuhan Tanjung Priok.
Sekitar 65% kapal-kapal yang berkegiatan di pelabuhan terbesar di Indonesia ini dalam pelaporan sistem Inaportnet, masih melaporkan keberadaan limbahnya diatas kapal 0 (tidak ada).
Padahal, pembuangan limbah yang tak sesuai prosedur aturan dapat dikenai sangsi pidana.
Karena itu, pemerintah melalui Otoritas Pelabuhan, Kesyahbandaran menginisiasi membentuk sekretariat bersama (Sekber) dalam penanganan limbah di pelabuhan Tanjung Priok ini.
Menurut Kepala Otoritas Pelabuhan (OP) Capt. Mugen Suprihatin Sartoto, Sekber sudah dirapatkan beberapa kali.
“Bahkan Senin (28/9) siang merupakan meeting finalisasi surat keputusan bersama pengelolaan limbah di pelabuhan Tanjung Priok, secara virtual,” kata Capt. Mugen kepada Ocean Week, Senin, di Jakarta.
Mantan KSOP Palembang ini juga menyatakan dalam waktu dekat Sekber Limbah itu sudah terealisasi.
“Nantinya Sekber ini akan melakukan pengawasan untuk masalah limbah kapal di Tanjung Priok,” ujarnya.
Kedepan, kata Mugen, kapal diminta memberikan informasi dimana limbahnya dibuang, jika tak dibuang di Priok. “Jadi kalau limbahnya dibuang di salah satu pelabuhan dan tak dibuang di Priok, harus dilampirkan pernyataan dari pihak berwenang di pelabuhan bersangkutan, sehingga kami bisa mengetahui dimana limbahnya dibuang,” ungkapnya.
Upaya yang dilakukan tersebut, kata Mugen, dalam rangka menjadikan pelabuhan Priok ramah lingkungan menuju green port.
Barangkali untuk teknis pelaksanaan penanganan limbah ini nantinya pihak Kesyahbandaran yang lebih banyak berperan.
Capt. Mugen juga mengungkapkan bahwa untuk mewujudkan konsep Pelabuhan Tanjung Priok yang ramah lingkungan memerlukan sebuah tindakan bersama yang didukung oleh instansi terkait sehingga mempermudah dalam melakukan koordinasi.
Pertimbangan lain dibentuknya Sekber karena setelah dilakukan evaluasi terhadap implementasi sistem pelaporan limbah bawaan kapal pada warta kedatangan dan keberangkatan kapal melalui Inaportnet serta sistem penanganan limbah kapal (PWMS) maka dipandang perlu melakukan langkah percepatan dan merubah strategi dalam mengelola aliran limbah, dokumen dan biaya.
“Tentu saja dalam rangka pencapaian penilaian Reception Facility (RF)
dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Pelabuhan Tanjung Priok yang dapat dipertanggung jawabkan baik waktu, mutu dan biaya serta mekanisme pelaporan dan pemantauan, maka perlu
dilakukan pengawasan bersama tentang pengelolaan lingkungan hidup di Pelabuhan Tanjung Priok,” jelas Mugen.
Ketika masalah penanganan limbah ini dikonfirmasi ke GM Pelindo II Cabang Tanjung Priok Guna Mulyana, dikatakan kalau soal limbah baru dilakukan rapat bersama pihak OP dan Syahbandar, pada Senin (28/9).
“Untuk limbah di pelabuhan Priok biar mereka (OP dan Syahbandar) yang komen,” jawab Guna singkat.
Sementara itu, Munif (salah satu pengurus DPC INSA Jaya), mengungkapkan bahwa sekitar 65% kapal yang berkegiatan di pelabuhan Priok melaporkan keberadaan limbahnya diatas kapal 0 (tidak ada) dalam sistem Inaportnat.
“Nah ini yang perlu untuk didorong oleh Sekber (OP dan Syahbandar). Karena banyak pelayaran (kapal) dalam laporan di inaportnet hanya nol. Apakah kedepannya, yang begini akan diberi sangsi, dan ini juga untuk kepentingan Tanjung Priok agar pelabuhan ini jadi ramah lingkungan dalam rangka menuju green port,” ujar Ujang (panggilannya) kepada Ocean Week, di Tanjung Priok, Senin siang.
Dia pun meminta kepada pemerintah (OP dan Syahbandar) untuk mengawasi kapal-kapal milik Pertamina, Pelni, dan JAI.
“Mestinya mereka itu sebagai perusahaan BUMN memberi contoh. Dan selama ini bagaimana sistem pelaporannya dalam inaportnet. Dimana mereka membuang limbahnya,” katanya mempertanyakan.
Di tempat terpisah, Ketua umum APLI Poltak Simbolon menyatakan jika bicara soal limbah di pelabuhan, maka intinya limbah dari kapal dan limbah yang dihasilkan dari kegiatan operasional penunjang pelabuhan.
“Kita melihat bahwa masalah limbah tersebut menyangkut pada program peningkatan kinerja perusahaan di Tanjung Priok yang saat ini masih dinilai Merah oleh KLHK,” kata Poltak.
Oleh karena itu, ungkapnya, APLI memberikan masukan agar jangan terpaku pada limbah kapal (limbah B3), tidak kalah pentingnya wajib juga dilakukan pengelolaannya, kegiatan operasional penunjang pelabuhan.
Untuk diketahui bahwa selama ini penanganan limbah di pelabuhan Priok dilakukan oleh PT Indowastek dan PT Binasamsurya Mandala Putra sebagai mitra kerja PT Pelindo Cabang Tanjung Priok.
Dalam rangka menunjang program pemerintah untuk mewujudkan pelabuhan bersih (clean port) menuju green port di pelabuhan Tanjung Priok, diharapkan seluruh pengguna jasa agar melakukan penginputan terkait isian barang cemar bawaan kapal pada warta kedatangan dan keberangkatan melalui inaportnet.
Kewajiban untuk penginputan barang bagi kapal-kapal pembawa limbah (sampah) tersebut sebenarnya sudah sejak Oktober 2018 lalu diminta oleh Dirjen Perhubungan Laut Agus Purnomo melalui surat edarannya no. Um-003/86/18/DJPL-18. Bahkan sewaktu Syahbandar Priok dipimpin Amiruddin, pada Juli 2019 juga mengeluarkan edaran akan hal itu.
Namun sayang, para pengguna jasa (kapal-kapal) tersebut sampai saat ini masih banyak yang mengabaikan masalah yang menjadi fokus pemerintah Indonesia yakni laut bebas dari limbah alias laut bersih dari sampah. Himbauan Dirjen Perhubungan Laut itu terkesan dilecehkan para pengguna jasa (kapal-kapal) yang beraktivitas di pelabuhan Priok. Sehingga menjadikan pelabuhan Priok clean port menuju green port hingga sekarang belum terealisasi.
Saat masalah limbah kapal ini dikonfirmasikan kepada Syahbandar, hingga berita ini ditulis, belum diperoleh jawaban. (***)