Jika beberapa negara ASEAN seperti Myanmar, Philipina, Thailand, dan Indonesia membangun pelabuhan, maka Malaysia pun tak mau ketinggalan. Salah satu pembangunan ulang pelabuhan yang dilakukan Malaysia yakni untuk Port Klang, sedangkan pelabuhan baru yang juga sedang dibangunnya yakni mega pelabuhan di pulau Carey selat Malaka dengan anggaran sekitar Rp 600 triliun atau 200 miliar ringgit.
Untuk Port Klang, mereka telah menggelontorkan dana sebesar 43 miliar ringgit atau Rp 132 triliun pada tahun 2016 lalu. Sebaliknya Indonesia juga tengah membangun Kuala Tanjung di Sumatera Utara, serta berencana di Patimban Karawang Jawa Barat, pelabuhan Kijing di Kalimantan Barat, dan Sorong. Informasi yang berhasil diperoleh Ocean Week menyebutkan bahwa untuk membangun ketiga pelabuhan itu diperlukan biaya sekitar Rp 100 triliun lebih.
Pembangunan pelabuhan itu, konon dimaksudkan untuk menyaingi pelabuhan Singapura. Tapi, untuk Indonesia ingin bersaing dengan Singapura, menurut Ketua ASEAN Freight Forwarder Association (AFFA) Yuki Nugrahawan Hanafi itu adalah mimpi yang tak mungkin dapat tercapai.
“Sudahlah akhiri untuk membandingkan dengan Singapura maupun Malaysia. Kita ini sudah ketinggalan 14-15 tahun dari mereka. Lebih baik Indonesia focus, mau kemana arah pelabuhan kita kedepan,” ujarnya.
Sementara Myanmar, mereka sekarang sedang bertransformasi menjadi negara hub logistic ASEAN. Salah satu cara yang ditempuhnya dengan menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada swasta, bukan lagi pemerintah.
Harapan Indonesia untuk menjadikan Tanjung Priok sebagai hub port, dinilai oleh Ketua komite Tetap bidang Perhubungan Kadin Indonesia, Asmari Heri juga tak mungkin terealisasi, kalau pemerintah tidak mau bekerjasama menggandeng pelayaran besar dunia. Sebab, transshipment itu, barang yang diangkut tidak ada hubungan dengan Negara bersangkutan. Jika barang yang lewat ke Singapura mencapai 35 juta TEUs per tahun, paling hanya sekitar 3 juta TEUs yang menjadi kebutuhan Negara itu.
“Singapura saja yang pertahun sudah mampu menangani sekitar 35 juta TEUs sebagai pelabuhan transshipment tidak pernah rebut. Makanya Indonesia jangan mimpi menjadi hub port internasional kalau tidak mau bergandengan dengan pelayaran besar dunia,” ujar Asmari.
Mestinya, jika Indonesia tidak perlu membangun banyak pelabuhan kalau memang tidak memiliki dana, lebih baik dana yang untuk membangun pelabuhan baru dioptimalkan untuk mengambangkan dan kepentingan pelabuhan yang sudah ada.
Menurut pihak berwenang Malaysia, bahwa rencana ini adalah usaha perombakan Melaka Gateway melalui program KAJ Developments dan PowerChina Internasional. Perombakan tersebut dan memakan biaya sebesar 30 miliar ringgit (Rp 148 triliun) untuk merekondisi pesisir Selat Malaka. Program diperkirakan selesai pada 2025 dan pelabuhan laut dalam akan selesai sebelum 2019. Pemerintah Malaysia sendiri berharap dapat menyandarkan 100.000 kapal, khususnya kapal-kapal China yang melewati Selat Malaka.
Pembangunan pelabuhan ini cukup beralasan mengingat Klang, pelabuhan utama di Malaysia diprediksi akan padat pada 2020, sehingga mereka perlu membangun ulang pelabuhan ini. (**)