Pemerintah (Kemenhub) berencana merevisi PM 53 tahun 2018 tentang kelayakan petikemas dan VGM. Namun, untuk merevisi, pihaknya minta masukan terlebih dulu dari para stakeholder. Baru-baru ini Kemenhub telah melakukan konsinyering bersama stakeholder membahas mengenai PM 53 ini.
Ada Asosiasi Depo Petikemas Indonesia (Asdeki), INSA, ALFI, GPEI, dan sebagainya hadir pada konsinyering tersebut.
Ocean Week mengkonfirmasikan hal itu kepada ALFI, dikatakan belum bisa memberi tanggapan. Begitu pula INSA, katanya masih dirapatkan untuk mengambil kesimpulan mengenai hal tersebut.
“Kami yang hadir waktu konsinyering tersebut diminta masukan tertulis dan sekarang masih kita bahas. Asosiasi yang lain juga diminta masukan tertulis,” kata Adil Karim, Sekretaris ALFI Jakarta, Kamis sore.
Sementara itu, Ketua Umum Asdeki H. Muslan menyatakan, untuk PM 53 Asdeki pernah menyampaikan ke Menhub langsung (Menhub Budi Karya Sumadi-red) bahwa pelaksanaan survey dan kelaikan container supaya ditunda sekitar 6 Bulan.
“Sebab Juknis (petunjuk teknis) dan persiapannya secara umum belum dapat dilalkukan,” katanya kepada Ocean Week, Jumat pagi.
Muslan mengungkapkan bahwa peran depo dan kondisi anggota Asdeki pada prinsipnya sudah siap, akan tetapi dalam pelaksanaan ini juga harus diintegrasikan dengan pihak Independen surveyor dan Biro Klasifikasi yang akan melakukan Uji test Kelayakan Container.
“Disamping itu juga belum dapat ditentukan standarisasi survey yang akan dipergunakan, apa menggunakan standard IICL 6 atau Cargo Worthy,” ujarnya lagi.
Menurut direktur PT GNS ini, Asdeki mengusulkan agar Standarisasi Survey kelaikan container menggunakan standard cargo worthy dan perbaikannya menggunakan standar IIC 6 agar tidak terjadi pembengkakan biaya logistics melambung sangat tinggi.
“Untuk saat ini Asdeki mengusulkan agar uang jaminan dapat dihilangkan dan digantikan dengan menggunakan Asuransi dan sejauh ini Asdeki sudah membicarakan hal ini dengan pihak GINSI dan Ginsi setuju membayar biaya kerusakan yang ditimbulkan oleh pemilik barang dengan dicover melalui Asuransi,” ungkapnya.
Muslan menambahkan, agar pelaksanaan tersebut fair. “Kami sepakat menggunakan dan menunjuk Independen surveyor untuk menentukan kriteria kerusakan kontainer. Standard dan jenis Kerusakan beserta tarif perbaikan kontainer Asdeki sudah menyusun dan hal tersebut dapat dipakai sebagai Standar nasional,” katanya.
Apabila hal ini dapat berjalan maka dapat mengurangi perputaran uang jaminan kira-kira Rp 250.000 box x Rp 1.500.000 = Rp 375 milyar per bulan atau Rp 4,5 triliun per tahun. Apabila hal ini disetujui oleh pemerintah dan steakholder dengan menggunakan motode ini, maka pelaksanaan dapat lebih mudah dan transparan serta efisien.
Seperti diketahui, bahwa Menhub telah mengeluarkan PM 53/2018 tentang kelayakan petikemas dan VGM. Untuk VGM sudah diberlakukan di sejumlah pelabuhan di Indonesia, namun terhadap kelayakan petikemas, sampai saat ini masih debatebel.
Waktu itu, Dirjen Hubla Agus Purnomo pernah menyatakan kalau untuk kelayakan petikemas, verifikasinya akan fokus pada kontainer asing, baru menyusul untuk kontainer domestik. Namun, untuk melaksanakan itu masih menunggu Juklak dan Juknisnya yang hingga sekarang belum terbit. (***)