Pemerintah mengeluarkan aturan perizinan usaha angkutan pelabuhan untuk penumpang dan barang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran.
Pasal 62 ayat 2 turunan dari UU Cipta Kerja ini, menyebutkan jika penyedia jasa kapal untuk penumpang dan barang wajib memiliki izin usaha dari Badan Usaha Pelabuhan.
Badan Usaha Pelabuhan tersebut terdiri dari bupati atau walikota untuk tingkat pelabuhan penumpang lokal. Lalu gubernur, sebagai Badan Usaha Pelabuhan di tingkat penumpang regional, dan Menteri untuk perizinan usaha Pelabuhan di tingkat Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul.
Menanggapi PP no. 31/2021 itu, Munif (ketua bidang hukum INSA Jaya) mengatakan bahwa selama ini setiap usaha di pelabuhan memperoleh ijin dari OP sebagai regulator.
“Masak kita mau melakukan usaha di pelabuhan harus ijin gubernur, bupati, walikota, ngawur aja itu, ijin usaha kita berbentuk PT, Pemda kan juga mengeluarkan ijin seperti domisili,” kata Ujang (panggilannya) kepada Ocean Week, Senin pagi (1/3).
Ujang juga mempertanyakan, kenapa hanya kapal penumpang saja yang diatur, kalau mau semua angkutan baik laut darat dan udara. “Ini yang kasih masukan nggak ngerti kali. Kalau ijin dari menteri di SIUPAL kan sudah disebutkan kegiatan usahanya, makanya ada RPK kapal yang setiap 6 bulan sekali diterbitkan,” ujarnya lagi.
Dalam PP itu disebutkan bahwa Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan kegiatan usahanya wajib memiliki Perizinan Berusaha Badan Usaha Pelabuhan.
Sedangkan pada ayat (1) pasal 62 PP Nomor 31 Tahun 2021, Pemerintah mengatakan jika izin dari Badan Usaha Pelabuhan dalam penyediaan atau menjalankan layanan jasa kapal, penumpang dan barang, dapat dilakukan untuk lebih dari satu terminal.
“Badan Usaha Pelabuhan dalam penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang dan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dapat melakukan kegiatan pengusahaan untuk lebih dari satu (1) terminal,” demikian dalam aturan itu.
Ujang berharap pemerintah bisa meninjau kembali peraturan itu, sehingga tidak banyak aturan yang tumpang tindih, yang akhirnya merugikan dan memberatkan dunia usaha. (**)