Pemerintah diharapkan dapat menggerakkan potensi ekonomi sektor maritim yang mencapai US$ 1,33 triliun per tahun.
“Itulah yang harus kita eksplorasikan melalui kerja di berbagai sektor, seperti pertambangan dan energi, transportasi laut, industri jasa maritim, wisata bahari, industri pengelolaan ikan, perikanan tangkap, dan industri bioteknologi, serta lainnya,” kata Pasoroan Herman Harianja, pengamat kemaritiman asal Sumatera Utara, kepada Ocean Week, Rabu (6/9).
Menurut Herman, potensi ekonomi maritim untuk industri pengolahan ikan (7%), industri bioteknologi (14%), pertambangan dan energi (16%), wisata bahari (4%), transportasi laut (2%), industri jasa maritim (15%), sumber daya pulau-pulau kecil (9%), dan hutan mangrove (15%). “Pemerintah mesti fokus untuk menggarap potensi itu, karena nilainya sangat besar,” ujarnya.

President Indonesian Maritime Pilots Association (INAMPA) ini juga menyatakan, industri jasa maritim dan transportasi laut pun menjadi bagian penting dari potensi maritim secar menyeluruh. “Pelabuhan dan pelayaran juga merupakan dua mata rantai yang tak dapat terpisahkan. Keduanya juga penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi maritim,” ungkap Herman.
Jika menyoal pelabuhan dan kapal, dipastikan tak terlepas dari pemanfaatan jasa pemanduan dan itu merupakan bagian dari berbagai potensi ekonomi maritim yang dimiliki Republik Indonesia.
“Karena itu, pemerintah harus fokus untuk menggerakkan potensi tersebut. Pemerintah harus bekerjasama dengan para asosiasi di sektor kemaritiman dan terkait lainnya untuk mewujudkan cita-cita mulia mensejahterakan rakyat, bangsa dan negara Indonesia,” jelas Herman panjang lebar.
Padahal, ungkap mantan direksi Pelindo ini, di Indonesia banyak SDM yang potensial dapat mengelola itu. Namun sayang, mereka (SDM profesional-red) itu belum dan tidak diberi kesempatan.
Herman juga menyatakan, kementerian dan lembaga tidak boleh menggunakan ego sektoral dalam mengelola maritim. “Perlu one stop service dengan strong leadership. Lihat China, Singapura, Korea, Jepang, dan lain-lain, beri kesempatan pengelolaan kepada ahlinya atau yang profesional punya world-wide networking, saya yakin pasti bisa,” tutur Herman.
Ditanya mengenai pemanduan kapal, Herman mengemukakan, Indonesia membutuhkan perluasan wilayah perairan wajib pandu. Sudah saatnya Pemerintah memperluas wilayah perairan wajib pandu bila ingin memanfaatkan potensi ekonomi dalam kebijakan Poros Maritim Dunia. “Wilayah perairan pertama yang perlu ditetapkan berstatus wajib pandu adalah Selat Malaka, kemudian ALKI I, ALKI II dan ALKI III,” kata Herman.
Khusus Selat Malaka, ucapnya, selat seluas 65.000 km persegi yang terletak di antara Semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatra ini menjadi sangat penting, dan dinilainya sebagai satu dari sembilan alur strategis laut dunia.
Pihaknya mencatat lebih dari 200 kapal melintasi selat ini setiap hari dan dilalui oleh 15,2% kapal minyak dunia atau hanya berada di bawah Selat Hormuz yang sebanyak 17%.
Begitu juga wilayah perairan Indonesia yang terbagi dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang melintasi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda. Kemudian ALKI II melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok. Sedangkan ALKI III melintasi Samudera Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu.
“Sekali lagi potensi ini mesti dapat digarap Indonesia,” tutup Herman. (***)