Usaha pelayaran sector offshore (lepas pantai) sampai sekarang masih lesu, apalagi proyek-proyek eksplorasi minyak baru hampir tidak ada, hanya proyek existing saja. Oleh karena itu, sementara waktu ini pelayaran offshore berupaya bertahan.
“Kalau memungkinkan jual kapal atau cari pasar di luar negeri, bahkan kaau perlu difersifikasi ke non offshore,” kata Managing Director Pan Maritime, Nova Mugijanto, ketika dihubungi Ocean Week terkait dengan lesunya pelayaran offshore saat ini, Rabu (19/7), di Jakarta.
Komentar serupa juga dikemukakan Presiden Direktur PT Seven Offshore Group, Anto Perwata. “Pelayaran Offshore dalam kondisi kritis. Keadaan market (pasar) masih sangat memprihatinkan, dan pemerintah (Kementerian ESDM-red) kelihatannya tidak menerima masukan yang dapat digunakan dari INSA,” jawabnya melalui WhansApp, kemarin.
Pemerintah dinilai Anto tidak sangat mengerti dunia pelayaran bidang offshore. “Saat ini regulasi sedang sangat menyakiti fundamental usaha offshore, namun pemerintah tetap memaksakan,” katanya.
Pelayaran offshore berharap pemerintah mau mendiskusikan kelesuan yang dialami usaha sector ini dengan INSA untuk mencari solusinya.
Kelihatannya industri kapal lepas pantai belum menemukan momentum pemulihan yang signifikan hingga smester pertama 2017. Karena itu, baik Anto Perwata maupun Nova Mugijanto terus berusaha mencari terobosan baru di luar bisnis minyak dan gas.
PT PAN Maritime Wira Pawitra misalnya, ungkap Nova, menempuh diversifikasi agar armada kapal tetap berjalan. “Kita mulai diversifikasi, sekarang 20% klien kita dari mining,” ucap Nova.
Kedua pebisnis pelayaran offshore ini menilai bahwa, industri sector ini terpuruk seiring anjloknya harga minyak dunia. Sebagaiman diketahui, harga minyak sempat menyentuh titik rendh pada Februari 2016 lalu. Akibatnya banyak kontraktor migas melakukan efisiensi sehingga berdampak pada penggunaan kapal lepas pantai.
Saat ini, jelas Nova, tingkat penggunaan armada Pan Maritime mencapai 80% dari total 12 armada yang dimiliki. “Kendati tingkat utilisasi masih tergolong tinggi, tarif sewa kini terpangkas hingga 50% akibat persaingan yang ketat.
Nova berharap pemerintah menerapkan beberapa langkah terobosan guna memperbaiki iklim investasi di sektor hulu migas. Pasalnya, perbaikan iklim investasi secara langsung bakal berdampak terhadap permintaan kapal lepas pantai.
Gairahkan Investasi
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan, pemerintah berupaya meningkatkan gairah investasi pencarian minyak dan gas bumi (migas), dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi menjadi PP 27 tahun 2017.
“Dengan terbitnya Revisi PP 79 Tahun 2010 melalui PP Nomor 27 Tahun 2017, keekonomian tetap baik, wajar dan adil, efisiensi dan penerimaan negara juga tetap meningkat,” kata Arcandra, di Jakarta.
Perubahan dalam PP Nomor 27 Tahun 2017 meliputi insentif eksplorasi, insentif eksploitasi untuk blok migas yang tidak ekonomis, pembebasan pajak untuk penggunaan fasilitas bersama, pembebasan bea masuk, pembebasan pajak penambahan nilai, pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 100 persen dari PBB terutang.
Sementara itu, Kepala Satuan Kerja Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengungkapkan, perubahan dalam PP 27 Tahun 2017, diharapkan bisa mendorong investasi pada sektor yang bergerak dalam pencarian migas tersebut.
“Revisi PP 79 sudah keluar, berbentuk PP 27. Mudah-mudahan adanya revisi PP 79 ini mendorong tumbuhnya investasi 2017,” dia menuturkan.
Berdasarkan catatan SKK Migas, realisasi investasi hulu migas semester I 2017 sebesar US$ 3,98 miliar, baru 29 persen dari target dalam rencana kerja dang anggaran sebesar US$ 13,8 miliar.
Rincian investasi tersebut terdiri atas blok eksploitasi dari rencana investasi sebesar US$12,86 miliar, terealisasi US$3,96 miliar. Sedangkan untuk blok eksplorasi dari rencana investasi sebesar US$940 juta, terealisasi tidak lebih dari US$30 juta. (***)