ALFI menilai operator angkutan multimoda di Indonesia cukup didaftar (registrasi) sesuai dengan kesepakatan pimpinan negara anggota ASEAN dalam AFAMT (ASEAN Framework Agreement on Multimodal Transport), sehingga tidak memerlukan izin baru dan badan hukum baru untuk melakukan kegiatan angkutan multimoda.
Menurut Iman Gandi, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional & Pengembangan Kapasitas DPP ALFI/ILFA, Indonesia dalam membuat kebijakan dan menerapkan sistem angkutan multimoda dapat mengadopsi negara-negara anggota ASEAN yang telah bersepakat dalam AFAMT.
“Tidak hanya negara-negara anggota ASEAN, bahkan hampir semua negara di dunia telah mengadopsi sistem angkutan multimoda sesuai dengan pedoman yang diterbitkan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu handbook of multimodal transport operation yang diterbitkan UN-ESCAP,” kata Iman, di Jakarta, Sabtu siang.
Sementara itu, Yukki N. Hanafi, Chairman AFFA (ASEAN Federation of Forwarders Associations) dan juga Ketua Umum DPP ALFI/ILFA mengatakan baiknya kita mencontoh negara di Asia yang paling awal membuat regulasi angkutan multimoda adalah India. Sebab, lanjutnya, sejak tahun 1992 India telah menerbitkan Registration of Multimodal Transport Operators Rules. “Jadi bukan izin baru lagi seperti di Indonesia,” tegasnya.
AFFA adalah mitra Sekretariat ASEAN di dalam Transport Facilitation Working Group dan implementasi AFAMT di kawasan.
Sebagai informasi, ALFI/ILFA juga sebagai member aktif dari FAPAA ( Federation of Asia Pacific AIrcargo Association) dan FIATA (International Federation of Freight Forwarders Association).

Mengapa dalam sistem angkutan multimoda itu ditegaskan cukup dengan kebijakan registrasi, Yukki memaparkan, karena siapa saja bisa bertindak sebagai MTO seperti perusahaan forwarding, trucking, train company, shipping dan airline yang memberikan layanan hingga door.
“Maka kita harus memahami bahwa angkutan multimoda adalah salah satu sistem yang biasa digunakan forwarding dalam memberikan layanan door to door.”
Dia menilai bahwa permasalahan di Indonesia saat ini adalah terjadinya kesalahan kebijakan mulai dari Undang-Undang (Pelayaran, Penerbangan, Perkeretaapian dan Lalu Lintas Angkutan di Jalan).
“Dari definisinya sudah tidak tepat, atau tidak sesuai dengan konvensi internasional, sehingga peraturan turunannya (Peraturan Pemerintah dan Pereaturan Menteri) akan semakin bias.”
Apabila kebijakan yang ada saat ini dipaksakan berlaku (Permenhub No.8/2012) akan ada dualisme kebijakan, karena sejak perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi (freight forwarding) ada pada tahun 1988 hingga terbit Permenhub No.49/2017, perusahaan JPT adalah pelaku angkutan multimoda.
Yukki menambahkan, bila mengubah empat (4) Undang-Undang (Pelayaran, Penerbangan, Perkeretaapian dan Lalu Lintas Angkutan di Jalan) dan Peraturan Pemerintah (PP No. 8/2011) memerlukan waktu yang lama.
“Maka dari itu, kami berharap Kementerian Perhubungan bisa tegas. Menggabungkan dua peraturan tersebut atau menghapus kebijakan yang tumpang tindih. Bila tidak segera diselesaikan, kita akan ketinggalan dengan negara tetangga yang sudah siap membangun konektivitas angkutan di ASEAN pada 2025,” ungkapnya.
Ironisnya, ada perusahaan angkutan truk yang hanya melayani jasa port to door dan door to port, tetapi memiliki izin BUAM (Badan Usaha Angkutan Multimoda). Anehnya lagi, ada BUAM yang tidak akan buka cabang di negara tetangga, yang sampai saat ini tidak bisa.
“Ini menunjukkan aturannya menyimpang dan pengusahanya tak paham konsep multimoda AFAMT itu sendiri. Lalu bagaimana kita bisa berkompetisi nantinya,” ujarnya.
Hal senada sebelumnya dikemukakan Ketua Umum DPP Aptrindo Gemilang Tarigan bahwa pengaturan mengenai angkutan multimoda pada RUU Revisi UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) agar di hapuskan karena dinilai tidak efektif, bahkan telah menambah perizinan birokrasi dan menjadikan mahalnya biaya operasional.
Menurut Gemilang Tarigan, definisi multi moda itu merupakan service atau pelayanan sehingga tidak diperlukan badan hukum khusus untuk menjalankan layanan tersebut.
“Sampai saat ini saja baru ada 10 perusahaan yang berizin multimoda padahal UU No 22 itu kan sudah lebih dari 10 tahun. Kan aneh multimoda ini seperti palugada saja, jadi memang gak perlu ada badan usaha khusus multimoda, dan sebaiknya dihapuskan saja dalam UU tersebut,” ujarnya.
Gemilang mengatakan, saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V DPR-RI, di Jakarta pada Senin (6/7/2020), asosiasinya juga sudah menyampaikan agar angkutan multi moda dihapuskan dalam rancangan beleid itu.
Dia menegaskan hasil Revisi UU tersebut harus dapat menjawab dukungan kebijakan dan ketersediaan sarana prasarana yang dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk berusaha di sektor transportasi angkutan barang.
Gemilang menyampaikan, UU No: 22 tentang LLAJ pada dasarnya perlu direvisi dan disesuaikan karena UU tersebut belum mengakomodir perkembangan zaman dan mendukung terciptanya iklim investasi yang kondusif di sektor angkutan barang sebagai tulang punggung logistik nasional.
Ada tiga alasan yang dikemukan Aptrindo, mengenai perlunya revisi UU itu, yakni, Pertama, saat ini teknologi transportasi semakin berkembang, tetapi pengawasan dan penindakan angkutan barang belum bisa menerapkan perkembangan teknologi Informasi dalam pengawasan dan penindakan (UU LLAJ belum mengaturnya).
Kedua, perlunya penguatan peran pemerintah dalam mendukung dan pemberdayaan pengembangan sarana angkutan barang (insentif) sebagai tulang punggung logistik nasional.
Ketiga, masih tingginya biaya logistik di indonesia yakni 24,7 % dari PDB lantaran belum adanya Kepastian peran pemerintah untuk mengendalikan supply and demand angkutan, peningkatan standar kelas jalan (MST 10 ton menjadi MST 13 ton) yang mengakibatkan persaingan berusaha tidak sehat serta terjadinya kelebihan muatan dan dimensi. (***)