Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi telah memerintahkan kepada Kepala Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok I Nyoman Gede Saputera, agar mengantisipasi operasional kapal dan barang di pelabuhan Tanjung Priok, khususnya di JICT tetap berjalan lancar.
Perintah Menhub tersebut terkait isu rencana mogok kerja para pekerja JICT yang akan dilangsungkan pada 3-10 Agustus 2017 medatang. “Saya sudah minta Kepala OP dan Kepala Syahbandar pelabuhan Priok untuk menyelesaikan hal itu. Saya juga minta supaya operasional tetap berjalan lancar. Pelayanan kapal dan barang tak boleh berhenti,” kata Budi Karya kepada Ocean Week, di Jakarta.
Mendapat tugas dari Menhub, Nyoman Gede Saputera kepada Ocean Week menyatakan sudah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, antara lain dengan Pelindo II, para operator terminal di Priok, Bea Cukai, Kepolisian, maupun istitusi yang lain.
“Kami (OP-red) sudah rapat koordinasi dengan Pak Prasetyadi (direktur operasi Pelindo II-red), semua operator terminal di Priok, Bea Cukai, Kapolres KPPP, dan instansi terkait lainnya,” ujar Nyoman, di Kantornya, Rabu (26/7) siang.
Menurut Nyoman, pada saat rapat di Kemenhub hari Selasa (25/7) yang dihadiri oleh Direksi Pelindo II, perwakilan kementerian BUMN, dan dirjen laut, Menhub berpesan supaya kegiatan operasional di pelabuhan Tanjung Priok tidak boleh berhenti, karena mogok kerja SP JICT.
Menhub juga minta secepatnya OP mengambil langkah dengan bekerjasama kepada operator terminal di Priok (TPK Koja, NPCT1, MAL, Tangguh Samudera Jaya (TSJ), dan Pelabuhan 3) untuk dapat menerima pelimpahan atau kegiatan sandar kapal dan bongkar muat petikemas di terminal-terminal itu.
“Kami juga sudah melaksanakan hal ini, dan mereka (operator terminal diluar JICT-red) sudah siap memback-up,” ungkapnya.
Bahkan, kata Nyoman, Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok, AKBP Roberthus Yohanes De Deo, menyatakan siap mendukung penuh dan siap mengamankan kegiatan operasional kapal dan barang di pelabuhan Priok, pada saat terjadi mogok kerja SP JICT tersebut.
“Pak Robert (panggilan AKBP Roberthus Yohanes De Dep-red) siap mengawal kelancaran, keamanan operasional, agar situasinya tertib dan terkendali,” ucap Nyoman.

Terkait dengan dokumen kepabeanan, Kepala OP Nyoman juga sudah minta kepada pihak JICT segera berkoordinasi dengan para operator kapal dan Bea Cukai terkait dengan dokumen kepabeanan, termasuk TPS-nya.
Sebelumnya Dirjen Laut Tonny Budiono juga sudah menginstruksikan jajaran direksi Pelindo II mengambil langkah untuk menjaga kesinambungan operasional pelabuhan Tanjug Priok, khususnya JICT.
“Saya perintahkan supaya produktifitas dan level of service pelabuhan Priok yang selama ini baik dan jadi tolok ukur pelabuhan lain di Indonesia dapat terjaga,” katanya.
Seperti diketahui bahwa Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) no. 63 tahun 2004 tentang pengamanan objek vital nasional. Keppres tersebut dikeluarkan menimbang objek vital memiliki peran penting bagi kehidupan bangsa dan negara, baik ditinjau dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Keppres tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya keputusan Menhub no. KM 72 tahun 2004 tentang objek vital transportasi, pos & telekomunikasi. Dalam keputusan Menhub itu, menetapkan pelabuhan laut nasional dan internasional sebagai objek vital.
Kemudian keluar Surat Edaran no. UM.003/38/19/DJPL-17 tertanggal 15 Mei 2017 tentang Peningkatan Pengawasan dan Penjagaan Dalam Rangka Pengamanan Objek Vital Nasional di Lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Dengan keluarnya edaran ini, semakin mempertegas bahwa Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan akan menindak tegas berbagai upaya yang dapat menganggu kegiatan ekonomi di obyek-obyek vital seperti pelabuhan.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga telah meminta jajarannya untuk menjaga dan mengamankan objek vital (Pelabuhan) dari kegiatan demonstrasi.
Pelabuhan merupakan salah satu objek vital nasional yang harus steril oleh kegiatan yang berpotensi mengganggu keamanan seperti demonstrasi/unjuk rasa, pawai, rapat umum dan mimbar bebas sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional.
Selama dua tahun terakhir, kegiatan di pelabuhan Priok sering terganggu akibat demontrasi yang dilakukan Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT).
Ocean Week mencatat, misalnya pada 6 April 2017, SP JICT menggelar demonstrasi dengan menyegel kantor direksi JICT dan ancaman terhadap ekspatriat. Kemudian, pada 2-3 Mei, SP JICT kembali demo dan mengancam melakukan mogok kerja pada 15-20 Mei. Aksi demo ini dilakukan setelah direksi JICT menolak tuntutan SP menaikkan kesejahteraan sebesar US$ 6,9 juta atau lebih dari Rp 100 miliar seperti tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2016-2018 yang disodorkan SP ke manajemen JICT. Namun, aksi mogok kerja itu batal, karena ada kesepakatan.
Tak Dipenuhi
Kali ini, SP JICT kembali mengancam menggelar mogok kerja pada tanggal 3-10 Agustus 2017.
Padahal, Dirut JICT Gunta Prabawa sudah berkirim surat kepada seluruh karyawan PT JICT tertanggal 25 Juli 2017, menanggai surat dari Serikat Pekerja JICT no. SPJICT/PBT/136/VII/2017 tanggal 21 Juli 2017 mengenai pemberitahuan mogok kerja yang direncanakan tanggal 3-10 Agustus 2017.
Gunta Prabawa yang pada hari Ultah ke-10 KPU Bea Cukai Tanjung Priok, Rabu (26/7) bertemu dengan Ocean Week, di Kantor KPU Bea Cukai, tidak mau komentar ketika disinggung mengenai aksi SP JICT itu.
Meski Gunta pun melalui suratnya sudah menghimbau kepada seluruh karyawan untuk tetap bekerja bersama-sama secara profesional dengan tetap mengedepankan kepuasan pelanggan.
Tampaknya apa yang disampaikan Dirut JICT itu tak dipenuhi oleh SP JICT. Hal itu tercermin dari kebulatan SP JICT yang tetap akan melakukan aksi mogok kerja pada tanggal 3-10 Agustus nanti.
“Kami sudah membalas surat dari dirut JICT Pak Gunta (Gunta Prabawa-red) untuk tetap melaksanaan komitmen kami, mogok kerja,” ungkap Mokhamad Firmansyah, Sekjen SP JICT.
Alasan mogok, antara lain, karena Pelindo II maupun Manajemen JICT tidak menjankan hasil Risalah 9 Mei 2017 yang sudah disepakati dengan SPJICT.
Mogok itu tetap dilakukan, kata Firmansyah, karena turunnya kesejahteraan pekerja JICT, mengingat adanya pembayaran rental cost/fee perpanjangan konsesi JICT yang belum sah secara hukum namun tetap dipaksakan pembayarannya oleh direksi JICT.
“Direksi juga ingkar untuk melaksanakan perundingan perihal pembayaran PTI dan kelanjutan PKB,” kata Firman. (***)