Indonesia menjadi salah satu negara terbesar memberangkatkan haji ke Tanah Suci Mekah. Paling tidak setiap tahun tidak kurang dari 200.000 calon jemaah haji berangkat dari negeri ini menunaikan rukun islam kelima itu.
Sekarang, pada setiap musim haji, pemerintah (kementeria agama dan kementerian perhubungan) sangat sibuk mempersiapkan keberangkatan dan perpulangan mereka.
Berbagai bandara dipoles, diperbaiki fasilitasnya, hingga sistem layanannya.
Dulu, pada tahun 60-70-an, kebijakan pemerintah Indonesia masih memberangkatkan haji menggunakan kapal laut. Namun, karena perjalanan haji melalui kapal laut banyak masalah, akhirnya pemerintah membuat kebijakan angkutan haji lewat kapal udara.
Apakah berhaji dari Indonesia memang sudah benar-benar tak lagi bisa menggunakan kapal laut. Tidakkah pemerintah berpikir sekaligus berniat menjadikan kapal laut sebagai sarana angkut dan wisata bagi jemaah haji.Tinggal bagaimana menyiapkan kapal yang dirancang bak hotel bintang lima, seperti kapal-kapal pesiar yang dimiliki pelayaran asing.
Mengingat Indonesia memiliki quota besar pada setiap musim haji. Jika berhaji menggunakan kapal laut diadakan lagi oleh pemerintah dengan menggunakan kapal besar yang mampu menampung 4.000 orang, apakah ini juga bukan sesuatu yang sangat menjanjikan bagi peluang usaha di sektor angkutan laut.
Sebagai bangsa maritim, perlu kiranya pemerintah memikirkannya, paling tidak, jika kapal niaga sekarang tak lagi bisa mengikarkan bendera merah putih ke berbagai negara di eropa, asia dan amerika. Kapal haji bisa mewakili bendera Indonesia berkibar ke jazirah arab.
Mungkin, pemerintah dapat menugaskan BUMN Pelni untuk menyiapkan konsep ini, ‘berhaji sembari wisata religi’.
Kalau kita tengok kebelakang, sejarah mencatat bahwa perjalanan haji umat Islam di Indonesia sejak era sebelum merdeka telah mengalami berbagai fase. Konon, orang Indonesia sudah berhaji sejak zaman kerajaan Samudera Pasai, pada sekitar abad ke-12 masehi.

Waktu itu, orang pergi haji dengan menumpang kapal. Dari tahun ke tahun, keinginan orang menunaikan ibadah haji terus bertambah. Sejak saat itulah, naik haji jadi perjalanan rutin umat muslim setiap tahun.
Tetapi, pada era pendudukan Belanda disini, pemerintah turut mengorganisasi perjalanan haji. Waktu itu, orang naik haji menggunakan kapal ‘Kongsi Tiga’. Kapal milik Kongsi Tiga adalah kapal angkutan barang dengan fasilitas kurang memadai. Sementara perjalanan laut memakan waktu hingga lebih dari satu bulan lamanya. Meski begitu, kondisi tersebut tidak menyurutkan minat umat muslim untuk pergi haji.
Waktu itu, jemaah haji Indonesia menggunakan kapal Kongsi Tiga, juga karena tidak ada pilihan lain. Tetapi, kebanyakan jemaah asal Sumatera dan Kalimantan lebih memilih untuk bertolak dari Singapura. Di lebih dekat, kapal dari Singapura yang disediakan pemerintah kolonial Inggris lebih baik daripada kapal Kongsi Tiga.
Perubahan tata cara penyelenggaraan perjalanan haji Indonesia dimulai sekitar tahun 1920. Tokoh-tokoh dan organisasi muslim meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan fasilitas yang lebih baik bagi para jemaah. Mereka juga mengirim delegasi ke Arab Saudi untuk membicarakan tentang kemudahan penyelenggaraan haji bagi jemaah Indonesia.
Pemerintah RI mulai membangun sistem penyelenggaraan ibadah haji sendiri selepas dari penjajahan Belanda. Minat masyarakat untuk naik haji semakin meningkat tiap tahunnya, sementara fasilitas yang tersedia tidak memadai.
Akhirnya pemerintah memberlakukan sistem kuota jemaah haji. PPHI (Panitia Perbaikan Penyelenggaraan Perjalanan Haji) dan PT Pelayaran Muslim ditunjuk menjadi panitia penyelenggara haji. Kapal laut masih jadi alat transportasi utama kala itu, biaya yang jauh lebih mahal membuat sebagian besar jemaah enggan menggunakan pesawat terbang.
Namun, situasi politik dan ekonomi pada pertengahan tahun 60-an berpengaruh besar pada penyelenggaraan ibadah haji nasional. Biaya haji meningkat tajam dari 60 ribu rupiah (tahun 1962), menjadi Rp 400.000 (1964), kemudian naik berkali-kali lipat hingga Rp 2.260.000 pada tahun 1965.
Pemerintah kembali mengubah sistem penyelenggaraan haji pada tahun 1966 dengan membagi perjalanan haji ke dalam tiga kategori, yaitu haji dengan kapal laut, haji dengan kapal udara, dan haji berdikari. Namun kebijakan tersebut tidak bertahan lama, sejak tahun 1970 pemerintah meniadakan pemberangkatan haji dengan kapal laut. Hal itu dilakukan karena banyaknya masalah pada perjalanan laut, terutama yang menimpa penyelenggara haji swasta.
Sejak saat itu pula, kapal laut angkut haji ditiadakan dan hanya ada jalur udara. Penentuan biaya tidak lagi dilakukan oleh Menteri Agama, melainkan langsung oleh presiden.
Melihat minat berhaji yang terus bertambah setiap tahun, mungkinkah pemerintah menghidupkan kembali angkutan haji melalui kapal laut, namun kapal dan agendanya terkonsep sebagai berhaji sembari wisata religi. (***)