Presiden China Xi Jin Ping dan Pemimpin Myanmar Aung Suu Kyi, pada Sabtu (18/1) menandatangani 33 perjanjian pembangunan proyek-proyek utama yang merupakan bagian dari Inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalan, yakni visi Tiongkok tentang rute perdagangan baru yang digambarkan sebagai Jalan Sutra abad ke-21.
Kesepakatan itu juga meliputi pembangunan pelabuhan samudera di Rakhine. Menurut berita The Statesman, Beijing berusaha membangun jalur perdagangan menuju Samudra Hindia melalui Myanmar , sekalian untuk memperkuat pengaruhnya atas Myanmar yang semakin terisolasi oleh Barat.
Presiden Xi Jin Ping bertemu dengan pemimpin de facto Myanmar, penasihat negara Aung San Suu Kyi pada hari kedua dari perjalanan kenegaraannya. “Ini adalah kunjungan pertama seorang kepala Negara China dalam 19 tahun, untuk meningkatkan Inisiatif Sabuk dan Jalan,” dikutip dari The Statesman.
Selain itu, kedua pemimpin sepakat untuk mendirikan zona ekonomi khusus di perbatasan. Mereka juga sepakat untuk mempromosikan pembangunan perkotaan di kota terbesar di negara Asia Tenggara itu, Yangon.
Suu Kyi dan Xi juga menandatangani nota kesepahaman untuk pembangunan pelabuhan di Rakhine, serta memperkuat kerja sama di sektor keamanan dan pertanian.
Perjalanan Xi terjadi pada saat pemerintah Suu Kyi menghadapi isolasi diplomatik dari Barat dan dunia Islam karena penanganan krisis Rohingya selama beberapa tahun terakhir.
Pada upacara penyambutan hari Jumat, Xi memuji era baru hubungan kedua negara. “Kami sedang menyusun peta jalan masa depan yang akan menghidupkan hubungan bilateral berdasarkan kedekatan persaudaraan untuk kesulitan bersama dan memberikan bantuan satu sama lain,” katanya.
Sementara itu Suu Kyi menyebut China sebagai negara besar yang memainkan peran penting dalam urusan internasional dan ekonomi dunia.
Suu Kyi berharap kerjasama proyek-proyek ekonomi yang menghindari degradasi lingkungan ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat setempat.
Pertaruhan China
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia, Ronny P. Sasmita menceritakan, inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan (BRI), yang juga disebut “sabuk ekonomi jalur sutra”, adalah pertaruhan besar Cina pada abad ini. Ketika pertama kali dideklarasikan oleh Presiden Xi Jinping pada 2013, prakarsa tersebut dikenal dengan sebutan Satu Sabuk, Satu Jalan. Guardian memperkirakan BRI akan menghabiskan biaya lebih dari US$ 1 triliun. Melalui prakarsa ini, Presiden Xi ingin menjadikan Cina sebagai pusat pertumbuhan ekonomi global, khususnya di Asia.
Sebagaimana dilaporkan The Economist, dengan berinvestasi pada proyek infrastruktur, Presiden Xi ingin agar cadangan devisa Cina jadi lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan banyak dari cadangan devisa Cina ditanam pada produk sekuritas Amerika Serikat yang berbunga rendah. Selain itu, Xi berharap BRI mampu membuka pasar baru bagi perusahaan-perusahaan Cina dan menciptakan kestabilan di kawasan Xinjiang dan Tibet yang terus bergolak. Prakarsa yang juga akan melibatkan sejumlah proyek di Laut Cina Selatan tersebut diharapkan akan memperkuat posisi Cina dalam kasus-kasus sengketa di kawasan tersebut.
Sejatinya, semua motivasi itu dibalut dengan tujuan yang tampak mulia: membuat kawasan Eurasia secara ekonomi sebanding dengan Transpasifik yang dimotori oleh Amerika. Seperti dilaporkan oleh Washington Post, BRI bekerja dengan meminjamkan modal ke negara-negara asing untuk mendirikan berbagai macam proyek infrastruktur. Namun proyek-proyek ini biasanya dibangun oleh perusahaan-perusahaan Cina. Hal-hal semacam inilah yang harus ditimbang matang-matang oleh Indonesia karena, sejak 27 April 2019, BRI secara resmi telah masuk dalam bentuk kerja sama ekonomi antara Cina dan Indonesia.
Kedua negara telah menandatangani 23 kesepakatan kerja sama untuk sejumlah proyek di bawah panji BRI. Sejumlah nota kesepahaman yang ditandatangani dilakukan dengan skema business to business oleh para pebisnis dari kedua negara. Perhatian tentu tidak saja terkait dengan probabilitas pembesaran utang domestik sampai pada peluang ketergantungan Indonesia pada modal Cina, tapi juga pada imbas ekonominya di kemudian hari, ketika peluang penguasaan ekonomi domestik akan pelan-pelan bergeser ke Negeri Tirai Bambu karena ujung dari proyek BRI bagi Cina adalah penguasaan rantai pasokan dan kanal distribusi di ranah domestik negara mitranya.
Kita dapat menengok pengalaman Sri Lanka. Presiden Mahinda Rajapaksa punya hasrat untuk memanfaatkan keuntungan letak geografisnya secara maksimal. Realisasinya adalah membangun pelabuhan udara dan laut agar bisa menampung muatan lebih banyak dan jadi tempat singgah perdagangan dunia. Rajapaksa kemudian punya gagasan untuk membangun bandar udara dan pelabuhan di Hambantota, daerah kelahirannya yang masih didominasi hutan. Ini sekaligus tentunya ingin menjadikan kampung halamannya sebagai metropolis kedua terbesar di negeri itu.
Megaproyek tersebut tentu saja membutuhkan pendanaan yang tak sedikit. Sri Lanka pada awalnya memang kesulitan mencari sumber dana, terutama dari Barat. Sebab, ada kebijakan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menutup konsesi ekonomi dan bantuan untuk Sri Lanka karena masalah perang saudara yang pernah terjadi di sana. Proyek Mattala Rajapaksa International Airport (MRIA) di Mattala, 18 kilometer dari Hambantota, kurang-lebih menghabiskan dana US$ 209 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun. Namun anggaran negeri itu tak akan mampu membiayai proyek sebesar itu.
Rajapaksa lantas mengundang Cina, yang kemudian memberi pinjaman untuk 90 persen biaya pembangunan MRIA. Cina juga banyak memberikan pinjaman pembangunan infrastruktur di sana, seperti pelabuhan Magampura Mahinda Rajapaksa dan Stadion Kriket Internasional Mahinda Rajapaksa. Kurang-lebih terdapat pinjaman lunak US$ 4,8 miliar dari Cina ke Sri Lanka selama Rajapaksa berkuasa.
Pembangunan di Hambantota dengan utang Cina itu akhirnya membawa Sri Lanka berutang hingga lebih dari US$ 8 miliar. Sayangnya, utang yang menggunung itu tak diimbangi dengan mimpi besar Sri Lanka untuk menggerakkan ekonomi secara instan. Bahkan, MRIA merugi dan pelabuhan Hambantota mengalami defisit. Akhirnya, untuk mengatasi perkara utang tersebut, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada perusahaan Cina. China Merchants Holdings (International) Company Ltd mengambil alih 80 persen pemasukan pelabuhan Hambantota sebagai pelunasan US$ 1,1 miliar utang Sri Lanka kepada Cina.
Menurut Financial Times, Pakistan, Sri Lanka, Laos, Maladewa, dan Montenegro termasuk negara dengan proyek BRI yang tersendat dan berakhir dengan utang menggunung. Jumlah negara yang mengalami nasib serupa bukan tidak mungkin akan bertambah. Pasalnya, banyak dari 70-an negara yang terlibat dalam BRI adalah negara-negara dengan ekonomi yang cukup berisiko menurut daftar peringkat risiko negara yang dikeluarkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). (tmp/mn/**)