Tarif progresif menjadi langkah solusi yang diambil oleh pemerintah maupun operator pelabuhan untuk mengatasi dwelling time. Padahal bukan disitu persoalannya. Kuncinya, presiden Joko Widodo mestinya mengeluarkan Keppres untuk dwelling time yang menjadikan satu atap terhadap semua proses pengeluaran barang.
Pelindo II pun ikutan juga latah untuk kasus dwelling time ini. Padahal saat ini di Tanjung Priok sudah 3,2 hari. Hal itu tercapai kemungkinan karena Yard Occupancy Ratio (YOR) sekarang ini rendah, sekitar 40 persen. Lain halnya dengan Tanjung Perak yang masih 5 hari, sebab YOR masih diputran 60 persen.
Namun, Pelindo II punya mimpi lain untuk dapat menjadikan dwelling time menjadi 2,5 hari. Beberapa strategi sudah disiapkan. Menurut Elvyn G. Masassya langkah yang diambil yaitu dengan menyiapkan pelayanan satu pintu di pre-clearance. “Dalam pelayanan satu atap tersebut akan berkerja sama dengan berbagai pihak mulai dari Ditjen Bea Cukai, Kementerian Perdagangan dan stakeholders lainnya. Kemudian memberikan kewenangan pada petugas yang akan percepat proses pre-clearance.” katanya.
Selain itu, Pelindo II mengambil beberapa langkah baru di post-clearance dengan mengenakan tarif progresif sehingga barang cepat keluar. Rinciannya jika barang tidak segera keluar dari pelabuhan, maka di hari ke-2 akan dikenakan denda 300 persen, lalu di hari ke-3 dikenakan denda 600 persen, dan seterusnya.
Pelindo II juga akan memberlakukan elektronic billing (pembayaran elektronik). Dengan cara ini proses pembayaran bisa lebih cepat, kontainer atau barang itu bisa lebih cepat keluar.
Tak Selesaikan Masalah
Sementara itu Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Timur, Bambang Sukadi mengungkapkan kenaikan tarif progresif untuk jasa penumpukan peti kemas tidak akan menyelesaikan masalah dwelling time.
Dia menilai justru cara tersebut akan membebani importir yakni harus mengeluarkan biaya tambahan seperti biaya angkut barang dan biaya sewa depo untuk barang. Ketika biaya impor barang itu menjadi semakin mahal, katanya, otomatis harga jual barang tersebut menjadi naik.
“Kalau bisa dikaji dulu apa yang terjadi kalau tarif progresif itu diterapkan, yang pasti akan memaksa barang untuk keluar dan menambah biaya. Padahal persoalan dwelling time itu ada di pre-clereance,” katanya.
Dia mengungkapkan sejauh ini anggota GINSI Jatim tidak bermasalah dalam hal dwelling time termasuk pengurusan izin-izin impor pada tahap pre-clereance yang melibatkan sedikitnya 18 instansi.
Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Perak Chandra Irawan mengatakan pengenaan tariff progresif di Tanjung Perak masih menunggu instruksi dari Kementerian Perhubungan.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jatim Hengky Pratoko juga menyatakan Yard Occupancy Ratio (YOR) di Tanjung Perak rata-rata baru 60 persen.
Hengky menambahkan, waktu bongkar muat di Tanjung Priok itu bisa 3,2 hari karena barang dikeluarkan dari lapangan penumpukan sebelum SPPB atau Surat Perintah Pengeluaran Barang dikeluarkan oleh Bea Cukai. Selain itu, kata dia, Tanjung Priok menghitung dwelling time tanpa memasukkan komponen pemenuhan pembayaran jasa terminal dan pajak-pajak. Padahal menurutnya, pengurangan dwelling time ditujukan agar biaya logistik rendah.
“Ini yang saya khawatirkan. Mereka melakukan modified storage strategy dan itu dijadikan pembenar untuk mempercepat dwelling time,” ujarnya. (***)