Mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritime sebagaimana era Majapahit dulu menjadi obsesi pemerintah Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla maupun mayoritas masyarakat negeri ini. Potensi maritime di Nusantara ini selama ini bukan menjadi prioritas, karena pada era orde baru lebih mengutamakan daratan dibandingkan kelautan, padahal semua tahu bahwa luas laut Indonesia sangatlah luas.
Presiden Jokowi, ketika berpidato resmi pertama kali dihadapan parlemen menyerukan sebuah ungkapan yang cukup membangkitkan semangat masyarakat kalangan maritime, sebab kata Presiden ‘kita tak lagi memunggungi laut’, artinya kekayaan sumber daya kelautan akan dioptimalkan oleh bangsa dan Negara untuk kemakmuran masyarakat Indonesia melalui konsep maritime.
Sayang, dalam implementasinya, konsep maritime yang tadinya jadi harapan banyak kalangan usaha justru terkesan Indonesia kehilangan arah pada sector maritime ini. Banyak kebijakan pemerintah yang dinilai belum memberi nilai positif bagi swasta nasional di sector ini.
Sebut saja pelayaran, PBM, dan sector lainnya. Lemahnya insentif bagi bisnis pelayaran dibandingkan Negara-negara ASEAN maupun Negara maritime lainnya membuat perusahaan pelayaran nasional tak mampu bersaing pada tingkat regional maupun internasional.
Kenapa Indonesia sulit menyaingi Singapura atau Malaysia, dua Negara yang selalu jadi comparative di sector pelabuhan. Itu karena pajak penghasilan badan di Indonesia dipatok 25%, sedangkan Singapura maupun Malaysia 0%. Lalu PPN bunker Indonesia 10%, Singapura maupun Malaysia 0%. Pajak penghasilan kru di Indonesia 5-30% sedangkan kedua Negara tadi 0%. Biaya modal Indonesia mencapai 10-12%, sementara Singapura atau Malaysia 4-5%.
Hal-hal itulah yang menurut Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto, Soenarto (Dirut PT Gurita Lintas Samudera) maupun Asmari Heri (Ketua Komite Tetap Bidang Perhubungan Kadin Indonesia) menjadi kendala utama pelayaran nasional tak mampu bersaing dengan asing.
“Selama masalah-masalah tersebut tidak segera diatasi oleh pemerintah, maka industri pelayaran nasional tidak mampu bersaing dengan asing. Karena di negara lain sudah memberikan semua insentif tersebut, sedangkan kita belum mendapatkan itu semua,” kata mereka secara terpisah kepada Ocean Week.
Padahal, obsesi pemerintah Indonesia untuk mengembalikan kejayaan maritime sebagaimana dulu di era 80-an, ketika kapal-kapal Djakarta Lloyd sanggup mengibarkan bendera merah putih hingga ke berbagai Negara luar.
Namun, keinginan pemerintah itu jangan sampai terkubur kembali, karena kebijakannya sendiri yang belum 100% berpihak pada usaha dalam negeri. Jangan sampai kita dicap sebagai pencintraan saja, seperti yang diucapkan Ketua Umum Ginsi Anton Sihombing.
Mungkin ‘mimpi’ pemerintah menjadikan Indonesia poros maritime bisa terealisasi, jika biaya pajak yang tinggi, tarif kepelabuhanan yang terus meningkat, aturan teknis yang belum setara dengan negara lainnya hingga tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum di laut (Sea and Coast Guard) dapat dirubah oleh Presiden Jokowi seperti yang dilakukan oleh pemerintah Singapura maupun Malaysia.
Pemerintah bolehlah optimistis mampu mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim dunia, dengan fokus memanfaatkan segala potensi sumber daya kelautan, membangun transportasi laut dan infrastruktur pelabuhan.
Namun, itu tadi sepanjang pajak-pajak masih memberatkan dunia usaha, dan penegakan hukum di laut belum berpihak pada pelaku bisnis local, maka ‘mimpi tinggallah mimpi’.
Meski Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berharap agar seluruh instansi dan stakeholder terkait dapat berpartisipasi aktif memberikan dukungan dalam pembangun sektor maritim melalui terobosan-terobosan yang dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat.
Tapi, sekali lagi kalau pemerintah sendiri juga belum memberikan keringanan seperti usulan swasta pelayaran maupun sector kepelabuhanan, dan jika masih ‘setengah hati’, lupakan saja Indonesia dapat mewujudkan poros maritime dunia.
Kalaulah sekarang ada program tol laut, pemanduan di Selat Malaka, serta direct call kapal besar dengan tujuan internasional, itu semua sebenarnya sudah ada dari dulu, minus pemanduan selat malaka.
Kita boleh bangga sebagai bangsa ‘bahari’, tetapi kita akan lebih berbangga lagi jika pemerintah sanggup mewujudkannya, jangan setegah hati. Caranya mudah, apa yang dilakukan pemerintah Singapura dan Malaysia atau Negara-negara lain, lakukanlah dan berikanlah. Lepaskan kepentingan politik, dan kelompok, buatlah kebijakan yang berpihak pada usaha dalam negeri, pasti obsesi untuk mengembalikan kejayaan maritime dapat tercapai. (***)