Pebisnis di pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Tanjung Emas, dan Makassar resah, menyusul diterapkannya beleid baru mengenai tata cara perhitungan pengenaan bea masuk impor barang yang tertuang dalam peraturan menteri keuangan (Permenkeu) no. 229 tahun 2017 yang diteken Sri Mulyani pada Desember 2017 lalu.
Keresahan akibat peraturan itu pun juga dialami pebisnis logistik yang berkegiatan di bandara di Indonesia.
Jika tidak segera direvisi, karena beleid baru tersebut, diperkirakan ratusan perusahaan logistik dan PPJK di Indonesia akan menghentikan kegiatannya, dan itu berarti puluhan ribu karyawan terancam terkena-PHK.
Kepada Ocean Week, Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi menyatakan, beleid baru itu sangat merugikan pebisnis logistik dan PPJK (perusahaan pengurusan jasa transportasi dan kepabeanan) dalam kegiatan importasi di pelabuhan.
“Semua pelaku usaha logistik dan PPJK resah dan mengeluh karena adanya pengenaan tambah bayar atau nota pembetulan (notul) bea masuk (BM) hanya karena keterlambatan memasukkan data surat keterangan asal (SKA) barang. Padahal mayoritas kesalahan bukan pada kami, namun di sistem penerimaan dokumen pabean yang lambat update-nya,” kata Yukki, Jumat (23/3) pagi.
Yukki minta supaya pemerintah bergerak cepat, tidak membiarkan kondisi yang meresahkan pebisnis logistik nasional ini berlarut-larut. “Pemerintah mesti merevisi aturan tersebut,” kata Yukki yang juga Chairman Asean Federation of Forwarders Association (AFFA).
Menurut Yukki, selain di pelabuhan laut, keluhan serupa juga dialami pebisnis logistik di bandara. “Banyak pebisnis logistik di bandara Soekarno Hatta, Bali, Surabaya, dan Kualanamu Medan yang juga resah karena aturan baru Permenkeu 229/2017 ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Kantor DPW ALFI Jakarta terus didatangi PPJK anggotanya yang menyampaikan keluhannya terkait penerapan beleid baru tersebut.
Ketua ALFI Jakarta Widijanto membenarkan jika anggotanya banyak yang datang, mengungkapkan keluhannya karena beleid baru Permenkeu 229 tersebut. Bahkan, menurut dia, karena terkena Notul, salah satu PPJK harus tambah bayar bea masuk hingga ratusan juta rupiah, karena alasan terlambat menyerahkan surat keterangan asal barang impor sehingga SKA dianggap tidak berlaku.
“Mestinya bea masuk barang tidak dikenakan sebagaimana kesepakatan perdagangan bebas ASEAN,” ujar Widijanto.
Dia berharap supaya pemerintah segera merevisi peraturan yang dianggapnya sangat merugikan usaha logistik dan PPJK ini. (***)